TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for 2018
"Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain" 

Tulisan kali ini saya buka dengan Sabda Nabi Muhammad SAW, semakin hari pesan ini menjadi salah satu nasehat yang diterapkan oleh banyak orang di dunia tidak terkecuali di negara tercinta ini, Indonesia.
Ini bukan asumsi semata, sebab pagi ini saya mendapatkan kabar  bahwa Indonesia menjadi salah satu negara generous atau yang murah hati, Indonesia mendapatkan nilai 59% yang merupakan angka yang sama yang diperoleh Australia (The Jakarta Post). Mengharukan tentu saja, sebab saya memang masih berharap saudara-saudara di Indonesia masih melestarikan nilai-nilai kebaikan yang sudah lahir bahkan sebelum negara ini lahir. Meski di jaman now, individualisme semakin terasa, frozen society semakin terlihat, ah semoga hanya opini saya semata.

Dahulu di desa saya, ada salah satu kebiasaan di mana masyarakat di desa saling membantu, gotong royong dalam banyak hal. Baik dalam menjaga kebersihan desa, membantu tetaga yang sedang terkena musibah dan acara kawinan, sunatan dan yang lainnya. Dan bisa jadi, kebiasaan ini juga ada di desa-desa lainnya di Indonesia. 

Berpindahnya saya dari satu tempat ke tempat yang lain membuat saya bertemu dengan banyak orang, memiliki latar belakang yang berbeda dan cerita hidup yang berbeda. Pekerjaan membawa saya bertemu dengan mereka meski dalam suasana yang sangat tidak formal, sehingga menguntungkan saya yang ingin merasakan berada di dalam cerita dan kehidupan mereka. 

Memilih mengabdi untuk mereka (masyarakat) secara langsung membuat saya ingin secara terus menerus berada di garis terdepan. Tidak bergitu peduli dengan seragam atau hal lainnya, sebab yang terpenting adalah memberikan pelayanan, memberikan kepedulian yang nyata untuk mereka. 

Siapa mereka? 

Ibu-Ibu hamil dan keluarga yang hidup di pinggiran Kalimalang, meski berada di Ibukota tetapi sebenarnya hidup mereka tidak lebih baik dari berada di kampung halaman. Mereka kerap datang untuk mengakses pelayanan kesehatan meski berbayar, padahal sebenarnya mereka dapat mengaksesnya secara gratis, namun keruwetan administrasi membuat mereka memaksakan diri untuk mengakses layanan yang dibutuhkan ke provider yang berbayar. Untung saja, pemilik klinik merupakan seseorang yang dekat dengan Tuhan, ia kerap mengatakan kepada saya untuk memberikan harga khusus kepada mereka-mereka yang memiliki keterbatasan materi. 

Masyarakat di pedalaman, di rural area. Meski masih di Pulau Jawa, namun mereka masih sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan, pendidikan dan yang lain. Mereka hidup seadanya di ujung-ujung pulau. Ketika saya ke sana, saya harus melewati jalan yang hanya bisa ditempuh oleh roda dua dengan risiko yang cukup besar karena kondisi jalan yang masih berbahaya. Selain berbatuan besar, jurang di sisi kiri dan kanan, jalanan yang berair dan licin saat hujan, tidak ada penerangan ketika malam hari, air bersih menjadi barang langka, sekolah dan puskesmas sangat jauh di mata, dan kondisi-kondisi lainnya. Tidak heran jika ada yang sakit parah mereka hanya berdiam diri, menunggu keajaiban dari Tuhan. 

Salah satu perbedaan sekaligus kenyataan yang sangat jelas di pandang mata adalah kemiskinan. Di Indonesia, angka kemiskinan masih belum berhasil untuk diurai. Meski Pemerintah kini tidak seorang diri dalam mengentaskannya, sebab ada banyak pihak yang dengan sungguh-sungguh membantu Pemerintah. Dan saya memutuskan untuk menjadi satu dari ribuan pihak tersebut. Impian kami sama, suatu saat anak Indonesia bisa memiliki kehidupan yang sama rata sejahteranya. 

Terlepas dari kemiskinan, disparitas pembangunan dan kesehatan di Indonesia, kini bencana alam menjadi trending topik di Indonesia. Dilansir oleh banyak media, Indonesia diperkirakan akan diuji melalui banyak bencana, baik itu gunung meletus, gempa, banjir, longsor hingga tsunami. Sebuah prediksi yang membuat saya ingin membangun rumah seperti perumahan di Jepang. Prediksi tersebut memang hanya hitung-hitungan manusia, tentu semuanya atas kehendak Tuhan. Tetapi setidaknya, dari prediksi yang ada, kita bisa mempersiapkan diri minimal melatiih diri dan circle kita agar mampu menghadapi bencana minimal dengan ilmu yang ada. Walaupun dalam prakteknya akan sulit sekali, tetapi ya mari kita coba saja. 

Di tahun 2018 ini, ada banyak sekali bencana yang terjadi di Indonesia, hingga membuat banyak orang-orang mendadak menjadi relawan kebencanaan. Menarik bukan? ya, amat menarik. Entah mereka memiliki skill tertentu yang dibutuhkan di lapangan maupun tidak, tetap saja ketika ada bencana, akan ada banyak relawan yang datang membantu. Belum lagi sumbangan yang berdatangan dari segala penjuru, kanal-kanal donasi yang terbuka untuk menyalurkan sumbangan dalam bentuk rupiah dan sebagainya. Wah, Indonesia memang luar biasa. 

Saya merasakan sendiri ketika berada satu minggu di Lombok, mengamati sekeliling, tidak hanya warga yang menjadi penyintas, tetapi juga relawan dan pihak yang terlibat. Di saat kondisi yang tidak normal seperti itu, memang bukan hal yang aneh ketika ada banyak pihak yang berdatangan untuk membantu. Atmosfer kebersamaan begitu terasa, selaras dengan #tagline kantor saya di akhir tahun ini "Kebaikan kuatkan kita". Dan saya amat merasakan hal itu. Berinteraksi langsung dengan penyintas membuat saya belajar banyak hal, terlebih lagi Tuhan memberikan saja cobaan dalam bentuk yang lain, yang perlu saya syukuri. 

Menjadi seorang relawan atau pekerja sosial (pekerja NGO/LSM) seperti saya memiliki cerita yang sangat luar biasa. Itu sebabnya saya menuliskannya "my precious jobs", sebab bagi saya pekerjaan saya sebagai relawan ini yang akan membawa saya untuk menjadi pembelajar yang baik dan bermanfaat. Bayangkan saja, saya diberi kesempatan untuk tinggal di banyak wilayah untuk membantu sesama melalui titipan dari donatur-donatur yang tidak lain adalah masyarakat Indonesia itu sendiri dengan beragam program, beragam aktivitas. Tinggal di pedalaman Papua yang masih sangat segar, berinteraksi dengan penduduk lokal yang begitu ramah dan tulus, berada di kaki Gunung Bromo, menikmati kehidupan sederhana ala masyarakat lokal, berinteraksi dengan anak-anak muda yang penuh impian, belum lagi saat di Aceh, bertemu dengan masyarakat yang unik, lalu Borneo yang sangat disayangkan karena sudah dipenuhi dengan galian-galian tambang, emas, dan yang lainnya. Pekerjaan saya ini ada dan bertahan berkat kemurahan hati Tuhan yang memberikan kelancaran kepada para Muzzaki (orang yang memberikan zakat) atau orang kaya/dermawan yang bermurah hati mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada Mustahik (orang yang berhak menerima zaakat) /orang yang tidak mampu dan membutuhkan bantuan. Nah,  jika ada yang nyinyir mengatakan "yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin atau menjudge bahwa orang kaya tidak peduli dengan yang miskin", mungkin ada baiknya kita ngobrol dulu.  Karena bisa jadi itu benar tetapi bisa jadi juga keliru.

Coba kita hitung ada berapa banyak lembaga filantropi di Indonesia yang mengumpulkan dana-dana baik dan halal dari orang kaya maupun yang belum kaya namun baik hati dan rajin berderma? banyak kan? Meski memang jika dibandingkan dengan jumlah orang kaya yang ada di Indonesia bisa jadi belum sebanyak itu. Tetapi kabar baiknya adalah angka donatur itu semakin meningkat! Tidak percaya? mari berbagi data, kirim surat tapi ya ke kantor saya :D

Ini kabar baik yang terus menerus harus disampaikan ke anak muda jaman now, kenapa? Karena kelak mereka akan menjadi orang kaya yang baik hati selanjutnya. Nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh semua agama harus kita tanam dan rawat bersama. Terlebih lagi Indonesia mendapatkan bonus demografi yang akan berkahir di 2036 menurut BPS, hal ini menjadi angin segar untuk kita jika kita mampu mempersiapkan anak muda kita mulai dari sekarang, mempersiapkan mereka untuk menjadi orang-orang yang produktif dan menjauhi segala larangan Tuhan, negara maupun larangan menjadi orang miskin! hehe
 
Nah, apakah kamu mau terlibat menjadi orang kaya yang rajin berderma? atau orang yang (belum) kaya tapi tetap mau berderma? atau? Boleh pilih jalan manapun untuk berbuat kebaikan, intinya saya mengajak kamu untuk memulai hal-hal kecil yang bermanfaat untuk orang lain, sebab semakin banyak kita memberi maka akan semakin banyak kita mendapatkan kebahagiaan dalam bentuk yang beragam. Jangan pernah ragu untuk menjadi baik dan memilih jalan dan cara yang baik.

Menyenangkan sekali bukan bekerja untuk masyarakat? Tentu saja!
Menulis tentang hari di dalam sepotong buku harian yang sudah tidak lagi baru. Jika mengurai ikatan, maka aku akan menemukan banyak jejak kenangan di sana. Memahami semakin hari dengan bertambahnya waktu makan semakin bertambah pula rasa sepi. Sebuah rasa yang datang tanpa harus melihat siapa yang ia datangi, tak peduli apapun, ia datang begitu saja. 

Berada di kota ini sesungguhnya menjadi jalan keluar untuk bisa merasakan keramaian yang sebenarnya, sebab tidak pernah benar-benar sepi. Anak-anak selalu memiliki waktu untuk membersamai, terkadang ada beberapa ibu-ibu yang singgah untuk sekadar mengecek keberadaan anak-anak mereka atau sekadar berbincang bersamaku. 

Bagiku, ini sepotong pil pereda rasa sakit yang sama sekali tidak pahit, aku begitu menikmati hari-hari di sini.

Membiarkan diri melebur di dalam kehidupan yang sederhana membuatku merasa lebih sehat dan waras. Tekanan tidak terasa, hampir tidak terasa tepatnya. Tidak ada lingkungan yang mengharuskanku untuk selalu tampil sempurna, tidak juga membuatku harus tersudut secara kasat mata, kehidupan di sini benar-benar seperti air yang mengalir begitu saja, sesederhana itu. 

Menyelesaikan hari selalu penuh rasa bahagia, hingga tidak terasa waktu berlalu secepat ini. Turut menyaksikan anak-anak di sini tumbuh dengan cara mereka, menikmati setiap interaksi yang biasa, andai saja bisa diceritakan satu per satu, mungkin manisnya akan menyebar hingga ke angkasa raya. 

Jika ada yang mengataka bahwa obat dari hati yang sedang sakit adalah silaturahmi atau bertemu orang lain, maka bagiku ada benarnya juga. Hati yang kemarin menjadi rapuh dan terluka kini pulih perlahan. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang ingatan sulit untuk dicegah kembali datang. But it's nothing.

 ***

Suatu sore aku mengajak beberapa remaja untuk menemani mengelili kampung di atas bukit. Meski kabut mulai mengisi udara dan membuat sekitar menjadi membeku, tetapi bersama mereka tawaku bisa membuncah, mereka kerap mengolok-olok aku yang malu-malu jika ditanya beberapa pertanyaan mereka, salah satunya adalah  lelaki seperti apa yang bisa membuatku jatuh cinta? Tentu, mereka tidak ada yang mengetahui bahwa beberapa bulan yang lalu hidupku nyaris berakhir hanya karena seorang laki-laki. Tetapi memang tidak perlu mereka tahu, sebab aku tidak ingin membawa cerita pahit itu ke dalam kehidupanku saat ini. Biarlah ia menjadi cerita yang tidak perlu diceritakan atau sekadar dibahasakan. 
Tidak lama menapaki jalan, kami sudah disugukan dengan barisan garis warna warni di sebelah barat, pelangi yang sangat indah dan kian indah ketika dilengkapi dengan semburat jingga dan awan yang berpola begitu cantik. Kadang, air mata megalir begitu saja, haru mengingat betapa Tuhan mencintai kita semua, Tuhan menciptakan keindahan dan keajaiban yang luar biasa. Dan di saat yang sama, Tuhan menunjukan bahwa hidupku masih tetap indah meski sebagian luka masih mengaga. 


Pekan lalu bersama seorang psikolog muda, Prapti Leguminosa,S.Psi.,M.Psi.,Psikolog membahas tentang bagaimana cara dan teknik membantu masyarakat dalam merespon sebuah keadaan tidak normal atau sebut saja dalam kondisi bencana atau yang dikenal dengan istilah PFA (Psychological First Aid). 

Acara berlansgung dari pukul satu hingga pukul setengah lima dengan audience secara umum didominasi oleh mahasiswa dan calon konselor. Talkshow ini dikemas cukup menarik dan interaktif sehingga pesan yang ingin disampaikan kepada audience bisa tersampaikan dengan baik. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya audience yang berburu pertanyaan. Begitu beragam pertanyaan yang tidak hanya tentang PFA tetapi kesehatan mental pada umumnya. 

Nah, cerita yang menarik ada pada sesi ini. Ada banyak pertanyaan tentang kesehatan mental baik dari kasus personal, pernikahan, hingga kasus-kasus lain yang sebenarnya kerap terjadi di masyarakat kita. Saya mendapati beberapa anak muda mulai tertarik dengan kesehatan mental melalui pertanyaan " Bagaimana kita membantu mencegah agar teman kita tidak bunuh diri?" di saat yang sama saya menyimak sembari mengumpulkan tenaga untuk berbagi cerita  tentang pengalaman saya pribadi. Saya menyampaikan bahwa salah satu hal yang bisa dilakukan oleh teman sebaya adalah menanyakan kabar rekan-rekan mereka dengan sepenuh hati dan menjalin komunikasi yang baik. Karena sungguh hal ini sangat dibutuhkan oleh siapapun, baik yang sedang mengalami mental illness maupun tidak. 

Selain itu, salah satu cara membantu mereka menghadapi kondisi tersebut adalah dengan cara menjadi pendengar yang baik. Saat depresi atau kondisi lainnya, penyintas membutuhkan tempat untuk mengungkapkan semua yang menyesaki kepala dan dadanya. Hidup memang tidak mudah, tetapi tidak juga terlampau sulit. Mental illness salah satu bentuk respon tubuh saat ada hal-hal yang tidak sesuai dari sudut pandangnya. Dan seorang teman yang mampu mendengarkan menjadi kebutuhan mutlak dalam hal ini. 

Saya kerap mendengar banyak orang bijak mengatakan " Ceritakan saja pada Tuhan saat kamu beribadah". Ya, saya setuju akan hal tersebut, saya juga melakukannya hingga terisak-isak dihadapanNya. Namun ada kalanya, penyintas membutuhkan komunikasi dua arah, sehingga keberadaan seseorang sangat berarti. 

Namun, ada beberapa hal yang harus diketahui oleh rekan-rekan tentang beberapa hal yang sebaiknya tidak dilakukan saat memiliki teman yang mengalami depresi atau mental illness lainnya seperti:

1. Jangan MENASEHATI saat ia sedang ingin bercerita atau menangis
Dalam kondisi ini, cukup hadir di saat itu, mendengarkan apa yang ia sampaikan, berikan perhatian penuh dan tulus. Pastikan kamu benar-benar berada di sana untuk dia. 

2. Jangan mengaitkan mental illness dengan keyakinan atau kealiman seseorang
Hal ini kerap terjadi dan saya amat tidak nyaman dengan hal ini. Tidak perlu beranggapan bahwa mental illness dipicu atau disebabkan oleh pengetahuan agama yang minim atau biasa diistilahkan "jauh dari Tuhan" meski mungkin memang ada kaitannya tetapi bagi saya, please don't say it to your friend! Its hurt!

3. Jangan menganggap mereka "berbeda"
Memang kesehatan mental dan kesehatan fisik memiliki perbedaan. Jika keduanya bermasalah maka terapi yang diberikan akan berbeda. Namun satu hal yang tidak berbeda, keduanya bisa diatasi dan dikelola agar tetap sehat. Jika kita batuk, flu, kanker sekalipun, semua ada terapi masing-masing. Begitu juga dengan mental illness. Sehingga tidak perlu dilirik dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, membuat stigma dan hal-hal tidak baik lainnya. Just let them live and life like you do!

Well, I have to stop write about this because you know I am trying hardly to share this topic.Maybe next time I will share more. By the way, can you imagine my face and feeling when I write this? Maybe no, but if you can imagine that, thank you for understanding me. 

Terlahir sebagai seorang perempuan yang berasal dari sebuah desa di ujung barat Sumatera menjadi salah satu hal yang ia syukuri hingga saat ini. Tidak peduli bagaimana citra desanya, tidak peduli bagaimana orang memandang negative tentang ia, takdir yang terjadi di dalam hidup membawanya menjadi seorang perempuan yang berbeda.

“Mengapa kamu memilih menjadi Neira seperti sekarang ini?” tanya seorang teman yang tak karib
“Hmm, saya bingung bagaimana menceritakannya.” Jawab Neira
Siang itu mereka sedang duduk di beranda sebuah bangunan tua berisi lembar-lembar pustaka. Usai mengisi acara kerelawanan, Neira melanjutkan waktunya untuk membaca dan akhirnya bertemu dengan seorang pria yang usianya sekitar 60an tahun. Pria berkacamata yang sudah lebih dahulu duduk di meja dan terpaku pada sebuah buku berjudul “Wujud Asli Indonesia”.  Sementara Neira merupakan seorang perempuan dewasa yang sudah kecanduan kegiatan sosial, kecanduan yang membawanya pada kehidupannya hari ini. Ia menjadi praktisi untuk beberapa bidang yang ia minati, kendati demikian ia tetap seorang gadis yang sederhana dan apa adanya.

            “Saya selalu senang bertemu anak muda yang cerdas dan paham sekali dengan hidupnya akan dibuat seperti apa.” Lanjut Pak Soed bertanya
Hening beberapa saat.

            “Sebenarnya saya tidak seidealis itu Pak. Hanya sejak kecil saya memang sudah difasilitasi belajar menjadi seseorang yang seperti ini. Saya terlahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, baik dari segi ekonomi maupun agama. Saya anak kedua dari lima bersaudara. Namun sejak kecil, saya memang diperlakukan lebih bertanggungjawab dan memiliki tanggungjawab dibandingkan Kakak saya. Singkat cerita, saya mengerjakan banyak hal di rumah dibandingkan dengan Kakak saya. Hingga saya masuk sekolah dasar, saya tidak berhenti mencari aktivitas di luar rumah, saya mengikuti kegiatan olahraga di sekolah, atau saya membantu anak-anak tetangga yang meminta saya mengajari mereka pelajaran-pelajaran di sekolah dan sebagai balas jasa mereka kepada saya, mereka akan membantu saya mengerjakan tugas-tugas rumah karena untuk membantu mereka belajar, saya harus menunda pekerjaan rumah saya. Hehe
            Tapi masa kecil saya amat menyenangkan, di mana saya berkesempatanmembantu orangtua saya menjemur padi, menimba air, dan aktivitas rumah lainnya. Di sekolah saya mengikuti banyak ekstra kulikuler, hingga bangku SMA saya tidak pernah sepi aktivitas. Mulai dari kelompok karya ilmiah, cerdas cermat, olimpiade, pramuka, drumband, paskbira, rohis, menulis, paduan suara dan kegiatan lainnya. Saya menyukai semua itu.
            Mungkin itu awal mula kenapa saya akhirnya memilih menjadi seseorang yang seperti ini, menyukai komunitas dan pekerjaan seperti ini.” Jelas Neira
Ada senyum yang mengembang dari wajah Pak Soed, diikuti dengan anggukannya seolah mengiyakan apa yang Neira ceritakan.

            “Lalu apa rencana kamu setelah ini?” tanya Pak Soed pada Neira yang semakin menikmati sapaan angin pad awajahnya.
            “Wah, ini pertanyaan yang sulit. Hehe, untuk orang seperti saya, hidup saya saat ini sudah sangat saya syukuri Pak. Di mana saya bisa bermanfaat untuk orang lain, tidak hanya keluarga saya, rasanya saya sudah bahagia sekali. Saya mencintai pekerjaan saya ini, namun saya juga tetap membutuhkan media untuk belajar lebih banyak lagi tentang hal-hal baru. Selain melalui pekerjaan, saya juga terlibat dan turut menginisiasi komunitas-komunitas yang melibatkan anak muda yang sama seperti saya, menyukai ruang-ruang diskusi dan gemar mempelajari ilmu-ilmu baru dan pengetahuan sehingga bisa ikut membuat perubahan di ranah kami masing-masing. Di mana pun saya bertugas atau travelling, saya selalu menyempatkan untuk survey atau need assessment sederhana yang mungkin suatu saat akan berguna saat mendesign program atau project-project tertentu. Apalagi saya tidak membatasi ruang gerak, misalnya sebagai seorang tenaga kesehatan, saya juga concern pada dunia pendidikan, pada kemiskinan, pada pengembangan social dan sebagainya. Sehingga saya bisa memaksimalkan diri saya untuk banyak hal. Saat ini saya berencana untuk mengembangkan banyak komunitas atau movement, melanjutkan pendidikan dan mengembangkan program-program yang berdampak kedepannya. Doakan ya Pak semoga dilancarkan”.
            “Mendengar cerita kamu seperti membaca sebuah buku motivasi. Saya jadi ingat anak ketiga saya, setelah lulus dari Inggris, dia memilih untuk bekerja di sebuah NGO di pedalaman demi membantu anak-anak di sana. Saya sangat support anak-anak muda seperti kalian. Dunia masih ada harapan jika anak-anak muda bisa produktif tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk banyak orang”.

Percakapan mereka berhenti ketika adzan sholat ashar berkumandang. Neira melanjutkan perjalananya begitu pula Pak Soed. Percakapan mereka berakhir pada sebuah kesepakatan, akan ada diskusi lanjutan dengan beberapa orang lainnya yang akan diundang oleh Pak Soed. 

***

Hampir setiap hari Neira melewati jalan raya ragunan, salah satu jalan arteri yang padat merayap hampir di setiap waktu. Neira menikmati setiap perjalanannya, ia memilih berjalan kaki daripada harus stuck di dalam kemacetan. Dan dalam jalannya, ia kerap mengamati banyak hal. Trotoar yang sudah alih fungsi menjadi jajaran toko kaki lima, sampah yang menumpuk di sepanjang parit, masyarakat yang hobi menghabiskan di warteg sembari membakar paru-paru dengan sebatang rokok beracun, kendaraan yang memenuhi jalan, perempuan yang membawa gerobak sampah dengan susah payah, dan aneka rupa aktivitas yang tertangkap oleh mata. Usai merekap semuanya, ia akan menuliskannya pada blog pribadinya. Neira sang overthinker, salah satu juluk yang ia dapatkan dari banyak orang.

Sesampainya di rumah, ia mulai menuliskan percakapannya tadi dengan Pak Soed. Ia meramu dalam Bahasa yang berbeda untuk diterbitkan diblog pribadinya.

            “Jika ada banyak orang yang tidak memilih jalan ini, maka saya menjadi bagian yang tidak banyak. Karena bagi saya, buku, menulis, berbagi, diskusi, masyarakat, pembangunan, negara, keberagaman, kebaikan adalah topik yang akan selalu hangat tidak hanya untuk diperbincangkan tetapi untuk diwujudkan. Sulit? Tidak. Sebab Allah yang akan membuat semuanya menjadi tidak sulit. Meski terasa sulit, tetap selalu ada jalan yang akhirnya menguatkan berada di jalan ini.
            Pertemuan demi pertemuan membuat saya semakin yakin bahwa Allah selalu membersamai saya di jalan ini. Dipertemukan dengan orang-orang yang tepat di waktu yang tepat. Ketika saya sedang lelah, sedang down, Allah mempertemukan dengan orang-orang yang membuat saya menjadi semangat kembali. Salah satunya hari ini, saya bertemu dengan Pak Soed. Saya tidak pernah menyangka akan bertemu dan berbicara dengan salah satu tokoh di Indonesia, meski namanya tidak masuk daftar orang-orang terkenal. Namun saya sedikit banyak mengetahui kisahnya. Bagaimana ia berjuang untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya melalui buku-buku yang ia tulis.
            Saya ingin sepertinya, menyicil amal kebaikan dan semoga apa yang saya lakukan terhitung demikian. Tidak perlu menjadi terkenal, cukup tetap dimampukan agar bisa tetap bermanfaat. Jangan patang arang, dunia selalu luas untuk orang-orang yang ingin berbuat kebaikan. “

Usai menulis, ia mulai merenungkan beberapa tulisannya tentang pekerjaanya. Bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan selama lima tahun terakhir memang membuat ia memiliki banyak kesempatan untuk belajar. Tidak hanya sebagai seorang professional, tetapi juga sebagai personal. Seperti biasa, ia banyak mengamati hal-hal yang menarik baginya. Setiap bangun pagi, ia selalu menyusun strategi agar tidak terlambat, ia merencanakan aktivitas yang akan ia lakukan sepanjang hari, membaca ulang target-target yang ada di buku catatannya, ia menggunakan gadget untuk berdiskusi dengan komunitas dan orang-orang yang ia anggap sebagai teman berbagi.

Pagi itu hadir sebuah pesan dari seorang teman di Timur Indonesia. Ia menanyakan kapan akan kembali ke sana. Neira tak bergeming, ada rindu di hatinya, namun rencana hidup membawanya kembali ke Ibukota demi dekat dengan keluarganya. Bagi Neira, pengabdiannya di Papua memang menjadi salah satu cerita hidup yang amat berharga baginya. Ia menuliskan banya cerita tentang pengabdiannya di sana. Ia menuliskannya tidak hanya dengan kata, tetapi juga dialiri oleh airmata. Setiap kata yang ia tuliskan, mengandung kecintaan yang luar biasa.
Neira memang cukup pandai membuat orang lain menikmati tulisannya. Ia menyampaikan pesan, ia berdakwah melalui tulisannya tanpa mengharapkan apa-apa selain ada kebaikan yang bisa diambil ketika ada yang membacanya. 


            “Kamu memang harus selalu rendah hati, tetapi kamu tidak boleh rendah diri. Banyak orang di luar sana yang menganggap diri kamu berharga, jangan pernah merasa bahwa kamu tidak berharga” Ucap seorang teman yang berada jauh di Jawa Timur ketika mendapati Neira tengah dirundung perasaan tidak bermanfaat. Tak ada jawaban untuk pujian-pujian terhadapnya, sebab Neira paham bahwa ia masih harus banyak melakukan perbaikan dan belajar menjadi lebih baik secara personal maupun professional.

Semakin banyak ia melibatkan diri dalam kerumunan positif, semakin ia merasa bahagia dan kuat meneruskan impian-impiannya yang tak biasa. Menyusun rencana untuk kembali mengabdi ke wilayah-wilayah terpencil usai menyelesaikan pendidikannya di negara orang. Sebab tak jarang ia mendapatkan diskriminasi karena sukunya, sering dipandang sebelah mata karena usianya yang masih muda, dianggap tidak baik dan aneka predikat lainnya. Namun melalui gerakan komunitas diskusinya, melalui komunitas pendidikan yang ia inisiasi, melalui tulisan-tulisannya, melalui pekerjaanya, ia ingin mengabarkan bahwa semua orang memiliki kesempatan untuk berbuat baik dan menebarnya tanpa melihat perbedaan selama orang tersebut berkenan menggunakan hati dan pikirannya untuk kebaikan. Karena berbicara jauh lebih mudah daripada mewujudkan apa-apa yang menjadi wacana. Dan ia memilih untuk bangun dari tidurnya, agar mimpi bisa diwujudkan. Sebab jika masih terlelap, maka mimpi akan tetap menjadi mimpi semata.


Ia ingat sebuah tulisan dari salah satu pembacanya “… sampai pada sore ini saat aku menulis ini, aku sedang merasa amat bahagia. Bagaimana tidak seumur hidup secara langsung aku disapa melalui pesan pribadi di Instagram oleh seseorang yang amat menginspirasi hidupku, bahkan aku ingin sekali bisa memiliki jejak hidup sepertinya, melihat dunia luar dan memberi banyak manfaat bagi yang lain. Selama ini aku merasa bahwa tulian yang aku post di sini tak pernah ada orang yang mau membaca walaupun aku tulis alamatnya di bio media social dan ternyata orang hebat seperti beliau menyempatkan waktunya untuk membaca sampai beliau menemukan tulisanku tentangnya. Dari tulisan aku mengenalnya, itulah keajaiban tulisan. Kamu bisa belajar dan menemukan solusi. Terimakasih semangatnya kak, semoga selalu dilindungi Allah dimanapun Kakak berada”

Mengalir air mata Neira membaca persembahan hati dari salah seorang pembaca blognya. Ia pun tidak pernah menyangka bahwa tulisannya bisa berdampak untuk orang lain. Hingga ia sadar bahwa ia harus kian menebar energi-energi positif melalu banyak cara. Meski ia juga tidak bisa menafikan bahwa banyak tindak tanduknya yang juga tidak baik. Sebab ia masih manusia biasa.

Sebelum berpisah pada siang itu dengan Pak Soed, Neira mendapatkan satu pesan darinya,

“Untuk bisa mencapai tujuan kita, kita tidak hanya perlu menyingkirkan kerikil dan batu untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Maka, tujuan kita akan tercapai jauh lebih cepat dan tepat. Ini bukan hitungan matematika memang, melainkan rumus dalam berbuat baik. Kamu lanjutkan perjalananmu apapun rintanganya, kamu hanya perlu sabar dan tetap berikhtiar, bisa jadi yang kamu hadapi lebih kuat dan berkuasa dari kamu, tetapi kamu punya Tuhan yang selalu bersama dan memihakmu. Suatu saat saya ingin mendengar kabar baik lainnya dari kamu, anak muda sederhana namun begitu luar biasa, yang saya kenal”.

Maka pertemuan demi pertemuan, ketika pagi berganti siang lalu malam, hidup benar-benar mengajarkan banyak hal kepada setiap orang, kepada Neira dan juga yang lainnya. Mari berjalan sesuai dengan rencanaNya. Sampai jumpa!
Fe, judul macam apa ini? whatever! 

Jadi hari ini saya ingin membahas tentang telor kutu. What? Kenapa sepagi ini membahas telor kutu?? Well, telor kutu yang saya bahas ini hanya istilah untuk orang-orang yang toxic di sebuah kelompok atau lembaga atau organisasi. 

Telor kutu macam ini bukan baru-baru ini menjadi hits, sebenarnya sejak dahulu kala memang sudah ada dan sudah disadari oleh (mungkin) semua orang, tetapi kadang tidak banyak yang peduli dan mengatasi hal ini. Kenapa? because it's so ribet!

Seseriuse apapun kita dalam membasmi kutu-kutu yang ada, namun telor kutu tidak kita buang, maka akan tetap ada kutu-kutu lainnya. Dan circle of the kutu's akan terus berulang dan berulang. Dan tentu, jika ada telor kutu dan kutu maka kepala dan sekitarnya akan terus tidak sehat. Selain bisa menyebabkan beragam penyakit lainnya, setidaknya kutu bisa membuat daerah sekitar menjadi gatal lalu si empunya tidak berhenti untuk mengaruk-garuk kepala dan daerah lainnya. Ah pasti tidak nyaman sekali kan?

Jadi, harus kita apakah kutu dan telor kutu? Tentu tetap harus dienyahkan dari muka bumi ya. Lalu bagaimana caranya? Nah ini, kadang sebagai manusia, kita tidak begitu tega untuk "memites" kutu yang ada di kepala kita. Jalan yang sering ditempuh adalah dengan menggunakan shampo anti kutu yang hanya ampuh untuk membasmi kutu, tidak telor kutu. Lalu apa kabar dengan telor kutu? Yap, hanya dengan beberapa cara, diambilin satu per satu, digundulin rambutnya, atau pake sisir yang amat kecil sehingga telor kutu bisa nyangkut dan lepas dari rambut tanpa harus digundulin (?) tapi ah pakai cara apapun terserah yg penting bebas dari kutu dan telor kutu! 

Nah, setelah telor kutu dan kutu terbasmi, maka jangan lupa untuk memikirkan cara untuk mencegah agar tidak ada kutu dan telurnya lagi. Pencegahan tentu sangat penting, kan?  Agree sekali.

Huft, ngebahas tentang ini aja rasanya sudah lelah dan menguras tenaga, lalu apa kabar if I have to face it like everytime? Hell (o)


Wah, ada yang lagi bahagia sepertinya? Alhamdulilah, semakin merasakan kasih sayang Allah di setiap hal yang terjadi di setiap hari. Beberapa bulan ini postingan saya banyak sekali tentang kehidupan baru di Jakarta, keputusan besar ketika mengiyakan untuk kembali ke tempat ini. 

Dinamika memang menjadikan saya seperti perahu di lautan. Tidak pernah benar-benar statis, tentu bisa kita bayangkan bagaimana perahu di tengah lautan. Tetapi berita baiknya adalah saya semakin belajar banyak hal. 

Setiap kondisi atau apapun yang terjadi, selalu ada hal yang saya jadikan pelajaran. Dan saya merasakan sendiri perubahan dan manfaatnya. Bagi saya juga mungkin bagi orang lain. Bagi seseorang seperti saya, tentu bukan hal yang mudah mengelola suasana hati di proses adaptasi. Meski atasan saya selalu mendukung saya dan selalu mengingatkan saya untuk stabil, tetapi tidak bisa saya pungkiri bahwa suasana hati dalam hari tetap fluktuatif. 

Tetapi ada hal yang menyenangkan, apa itu? yaitu perasaan bahagia merasakan anugerah. Entah saya yang terlalu percaya diri atau terlalu baper sehingga berani mengklaim bahwa Allah semakin sayang dengan saya. Sebenarnya saya berani mengutarakan hal tersebut sebab Allah mengirimkan banyak orang baik di sekeliling saya yang semakin mengingatkan saya pada kebaikan. 

Maka, sebenarnya kita memiliki pilihan. Kita dapat memilih dan menentukan dengan siapa kita akan berbagi kehidupan sosial, terlebih kehidupan pribadi. Allah semakin membuat saya produktif, belajar sana sini dan ini itu, walaupun terkadang saya pusing berkeliling-keliling tetapi semua terasa menyenangkan. 

Saya semakin bahagia saat bisa berinteraksi dengan banyak orang di mana saya bisa belajar banyak. Tidak hanya tentang pengetahuan tetapi juga tentang nilai-nilai, sikap dan apapun yang baik-baik dan bisa saya contoh. 

Esok hari tidak ada yang bisa menjamin segala sesuatu akan baik-baik saja. Tetapi saya akan selalu berusaha untuk baik-baik saja. Alhamdulilah, nikmatNya yang mana yang bisa didustakan? Tidak ada!

Jadi, tidak perlu khawatir jika ada badai, sebab cepat atau lambat ia akan berlalu dan kita akan bertemu. #ups

 Stay happy and healthy

This morning Jakarta was hungry and the springs came down from the sky.While indoors, although the temperature is cold enough, the situation gets warm as they are in the middle of knowledge.Not just smart enough, but more than that.Today is part of the process of learning for the good of many heads, for the sake of a much more developed institution. 

On the way to the meeting location today,I was able to say that Ramadhan this time was so fast. There's not much practice yet to do but time has passed. Jakarta is too busy and dense by dead and living things. Sometimes both make Ramadhan and Jakarta more agile. 

This morning I want to write about the passion to learn, learn in the general definition. How we can learn from everyday things. Is it part of overthinker?  I'm not sure what to learn to be a very fun process. 

For most people, this process is boring and useless , but for me and people like me, this process is just as fun as playing in the playground. There are many games to try, which can be explored.It's so awesome!

Today I and my team have the opportunity to study with prof. DR. Ningky Munir. I immediately glanced over through mbah google about our teacher today. I am so impressed, because for me this is a new but very interesting knowledge. I am reading a management- related dictionary, about the aspects of detail related to an institution as a whole. New knowledge for me, but I really need it for now and beyond. Science will help me to manage resources, not just humans but also many other supporters. 

In my experience of working, there is a lot of knowledge and soft skill that I have learned myself, I understand how trained my way to be able to apply the right management, though many cases or conditions have not been successful yet.  

Interesting knowledge, keep learning! 
Indeed, already tired cynical and grumbling about many things in this beloved country. From trivial to seriously, ranging from harmful community habits to governmental customs that harmless others or others. 

Starting from open my eyes,then out of the boarding room, I can spend the whole minute watching trash junk, including cat feces in some corner in another room. Out of the board, I had to take a look at the rubbish that piled in the irrigation channel and the small rivers around the house, plus a stack of pale yellow sputum that seemed to have just been released by the owner. Continued with motorists who even though there are traffic signs but still many are neglected. As a road user, I almost give up and wait longer even though the red light has crossed the zebra cross. My question, is that the rider does not know that they can not stop over the striped line? Losing my mind!

Quite right? But this is important!

The worse part is my mother who has changed 4 doctors but her cough has not yet recovered despite having consumed many medicines they gave. But for me, it's not making sense, like are you kidding dude? Although I am not a doctor, but as a health worker I also know when patients with such symptoms have repeatedly been getting the same medication from different physicians, they should be able to identify other illnesses, especially my mother has been told that it has a history of bronchitis, cough it has been more than 1 month and has interrupted the break, but the doctor is a doctor at the local public hospital and even gave my mother asthma, a drug and controlled one more month. What? seriously? are you sure? 

I really do not understand, is this a new science in the medical world where an ISPA patient or suspect Bronchitis is asked for control over 1 month? Without any explanation if there is no change after taking medicine or even getting worse then it should be right back, seriously?

At this point I had to go out and call my friends as doctors to ask their opinion, which when they heard my story was furious and embarrassed by his peers. What's wrong with education in this country? Does lesson identification problem no longer be the main one before action? Is the anamnesa now a formality only? Seriously? And worse, this kind of event is happening mostly in government-run service spaces. OMG! What's this? What exactly happened? Where is the government control function of existing services? Moreover, health care. Come on!

the worst point if we cover other facts in the field of education and the other. Allahuakbar indeed. Although not be a poor country anymore, I think we have not yet fully move on. It may be, this mindset which then takes us still at this point. 

Then what we can do for this problems ? because cynical and grumbling do not solve the problem, I think we really need to deal with this. As a young woman, in addition to giving examples like not throwing away anything, reminding others not to waste any rubbish, and other things I can do include writing and dialogue with friends who have the same view so that this message can be disseminated, as well as to try as much as possible to keep positive thinking, patience and no turn-around. For obviously those things did not solve the problem. 

Bagi saya yang berasal bukan dari keluarga yang begitu agamais, Zakat menjadi tidak sekarib sholat dan puasa, terlebih lagi di desa tidak banyak orang yang membincangkannya. Meski sudah hidup dan tinggal di Jakarta sejak delapan tahun yang lalu, Zakat juga belum mencuri perhatian meski ia bisa jadi sudah mulai terpapar informasi tentangnya. 

Dilansir di Wikipedia, definisi Zakat adalah harta tertentu yang harus dikeluarkan seorang muslim yang diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Dan ia merupakan rukun Islam ketiga. Siapakah golongan yang berhak menerimanya? Bagaimana menunaikan Zakat? Apa bedanya Zakat, Infaq, Sodaqoh dan Wakaf (ZISWAF)? Dan aneka pertanyaan lainnya. (Please check it through www.dompetdhuafa.org)

Sejak 2014, Allah SWT mempertemukan saya pada sebuah lembaga yang berkaitan erat dengan Zakat. Lantas hal ini menjadi awal saya mengenal dunia Zakat, dunia baru untuk saya, dunia yang menantang dan menyenangkan. Bagaimana saya melihat banyak nilai yang lahir dari gerakan ini, seolah menjadi salah satu jalan keluar daribanyak masalah umat muslim yang ada.

Mengapa demikian? bayangkan saja, terdapat golongan yang berhak menerima Zakat yaitu umat muslim yang Fakir, Miskin, Amil, Mu'allaf, Hamba sahaya, Gharimin, Fisabililah, Ibnu Sabil. Jika kita lihat 8 golongan tersebut, beberapa dari mereka merupakan sasaran kunci dari pembangunan dan program- program yang ada di negara ini. 

Bagaimana pemerintah mati-matian berusaha mengentas kemiskinan, namun kemiskinan di negara kita seolah masih menjadi betah menjadi bagian dari mereka. Saya kutip dari tirto.id " Angka kemiskinan Indonesia pada September 2017 lalu berada di level 10,12 persen dengan jumlah absolut sebesar 26,58 juta jiwa. Pada 2016, sebesar 10,70 persen atau sebesar 27,76 juta jiwa."   Itu artinya, penerima zakat di Indonesia dari golongan Fakir dan Miskin masih sangat banyak. Lalu apa yang harus dilakukan untuk membantu mengentaskan kemiskinan di muka bumi ini?

Menariknya, dewasa ini banyak pihak yang melirik dana umat yang tidak lain tidak bukan adalah Ziswaf itu sendiri. Ada banyak lembaga yang menghimpun dana Ziswaf untuk kemudian disalurkan ke 8 golongan di atas. Konon ini menjadi salah satu upaya dalam mengentas kemiskinan salah satunya. 

Dalam perjalanan saya menjadi bagian dari lembaga amil zakat yang menyalurkan dana zakat melalui banyak program, membuat saya semakin memahami makna mengentas kemiskinan dengan Ziswaf menjadi benar adanya jika dilakukan dengan cara yang tepat. Mengapa demikian? Sebab saya menjadi salah seorang yang tidak menyetujui jika ada upaya pemerintah dalam memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk uang tanpa ada pendampigan dalam penggunaanya. Hal ini menyebabkan masyarakat semakin bergantung dengan pemerintah dan semakin terpupuk jiwa 'minta-minta' atau 'tangan di bawah lebih menghasilkan daripada tangan di dalam kantung celana'. 

Direktur saya pernah menyampaikan hal yang serupa terkait dana zakat kepada Republika.co.id, " Menurutnya, potensi zakat di Indonesia sangat besar. Tercatat, pada 2010 sekitar Rp 217 trilun terus meningkat pesat di 2016 mencapai Rp 286 triliun. "Potensinya besar tapi baru 5 persen dari lembaga zakat seluruh Indonesia, jadi sangat jauh dengan realisasi," ucapnya.

Saya merinding jika membayangkan potensi Zakat yang diprediksi benar-benar bisa dicapai. Hal ini berarti kesadaran masyarakat akan rasa peduli, saling membantu, tanggungjawab sosial, sikap yang semakin baik semakin meningkat. Betapa tidak? membayar zakat tidak akan dilakukan hanya karena berlatar belakang sebagai muslim saja, sebab faktanya seperti itu. Ketika perintah-perintah Allah SWT masih menjadi bahasa-bahasa Alquran saja, belum menjadi bagian dari praktik dihari-hari umat manusia. Dan kabar baiknya adalah penghimpunan dana zakat semakin meningkat tiap tahunnya, disusul dana infaq, sedekah dan wakaf. 

Duhai rekanan, saya sengaja menuliskan hal ini karena saya merasa sebagai anak muda, saya wajib mendukung pengembangan gerakan zakat. Tidak hanya karena saya adalah seorang amil, tetapi juga karena saya paham bahwa melalui dana ini bisa membantu sesama. Perlu kita ketahui bahwa untuk bisa mengentas kemiskinan, kita perlu bekerja sama. Tidak hanya pemerintah dengan non government organization saja, tetapi juga kerjasama dari si kaya dan si miskin agar ketimpangan tidak semakin merajalela. 

Saya ingin membangun citra bagaimana kerennya profesi menjadi seorang amil, apapun latar belakang pendidikan, jika kepedulian itu ada, maka akan sangat mudah mengembangkan gerakan ini. Menstimulan anak muda agar tertarik berzakat dan berbuat baik. Menebar nilai bahwa berzakat tidak hanya sekadar membayar 2,5% dari penghasilan atau harta yang dimiliki, tetapi juga bagaimana bisa menebar kebaikan dari dana yang terhimpun melalui amanah yang diemban sebagai amil. 

Ada pertanyaan, lalu apa kabar dengan profesi mu? Ohiya saya lupa jika saya merupakan seorang bidan yang juga praktisi kesehatan, ya tidak ada masalah. Saya tetap bisa menjalankan profesi saya sebab menjadi amil begitu leluasa dalam mengembangkan diri sesuai profesi dan minat. 

Dan mengapa zakat? Sebab ia menjadi salah satu perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim yang sudah mampu. Maka, mari mampukan diri agar bisa membantu sesama, namun jika belum mari menjadi amil agar tetap bisa membantu mereka dengan jalan yang lain. 

Mari berzakat daripada dizakati :)
Apakah hari kita sampai pada kondisi di mana isi kepala sama? Hingga banyak orang yang mengaku bahwa apa yang orang lain pikirkan sama dengan apa yang ia pikirkan? Bahkan tidak sedikit yang mengaku bahwa impiannya sama dengan orang lain. Apakah mimpi semakin tidak kreatif di alamnya?

Ada banyak kalimat sakti yang kerap mereka keluarkan untuk menghantam orang lain. Ada banyak pula tatapan sinis dan rasa iri yang mulai mencuat dari mata mereka, dari senyum mereka bahkan dari tawa bahagia mereka. Ironi, sebab dunia semakin banyak menghasilkan manusia-manusia yang sibuk mengurusi hidup dan alur kebahagiaan orang lain. Bahkan kini, halusinasi semakin terasa menjadi trend di banyak kalangan. Di mana standar yang harusnya berbeda dibuat menjadi sama rata, padahal mereka memulai hidup dari awal, modal dan upaya yang berbeda. Lantas apakah mungkin semua dijadikan sama rata?

Fenomena ini saya lihat hampir setiap hari, setiap saat ketika saya berada di jalan raya atau di stasiun atau di tempat umum lainnya. Melihat ada banyak manusia yang berjuang untuk mampu memenuhi kehidupannya di hari yang sama, ada banyak manusia yang berjuang untuk mampu melanjutkan hari selanjutnya dengan kondisi yang berbeda. Ada ragam emosi yang dapat dirasakan, ada wajah-wajah lelah, ada senyum-senyum pemulih jiwa, ada tawa-tawa penutup kesedihan atau kegagalan, ada senyum-senyum tulus penerimaan, ada mata yang lelah akan hidup yang tak sesuai harapan, dan sebagainya. Hati manusia memang hanya Allah yang mengetahui isi yang ada didalamnya. Tidak perlu berpura-pura mampu menerkanya, jangan juga seolah-olah memahami segalanya. Apa yang kita lihat dan nilai bisa jadi tidak sama, tidak utuh dan berbeda. Saya hanya menuliskan apa-apa yang nampak tanpa mencampur asumsi saya tentang hidup mereka. 

Jika boleh mengakuinya, ada banyak orang yang sudah lelah dengan hidup. Lelah berjuang, lelah dengan kondisi, lelah atas diri sendiri. Seorang pemuda yang bingung dengan kehalalan pekerjaanya namun merasa tidak memiliki pilihan, seorang isteri yang menggantungkan hidup pada suami namun merasa tidak tercukupi, seorang anak yang berharap pada orangtua namun kepapaan seolah tak mau pergi dari kehidupan orangtuanya. Seorang perempuan yang setiap hari mengajukan do'a yang sama, dan pada alur kehidupan ini ada banyak rasa lelah yang bertebaran secara kasat mata. 

Dan pada akhirnya, rasa lelah akan bermuara pada rasa ikhlas ketika semua diniatkan untuk pemilik hidup, Allah SWT. Masalahnya, untuk sampai pada muara tersebut, tidak semua orang mampu meraihnya. Ada banyak pola, ada banyak hambatan, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri dan pada akhirnya, semua akan bergantung pada masing-masing manusia tersebut, pada hati-hati mereka yang merasakan emosi-emosi yang berbeda dan kembali pada kehendakNya. 

Berharap lelah-lelah yang kita nikmati ini menjadi nilai kebaikan tersendiri dihadapanNya. 





Yay, finally I write this journey. I call it, the epic journey and here we go ..

Well, this trip so impulsive because I never plan it before. I just saw promo tickets in Instagram, you can check @Ekoardiansyah if you want to get promo ticket to KL or Singapore from Banda Aceh or Medan. Alhamdulilah , I got the ticket only 650K for flight on 29 March and back on 3 April 2018. I decided to travel on March because it will be awesome gift for my birthday. Lol

Yay, happy birthday, sweetheart!

Do you believe if I say that I counted the days everyday? Yep , I did it, like I can not wait to feel the epic journey. Finally, I woke up on 29 March, after slept for 4 hours because like usual, I can not sleep well if I will go to somewhere, because I was excited, maybe! Last night, I packed my stuffs for a long trip. I brought 2 long skirts, 1 pajamas, 4 tshirt, 4 veils, and underware (2 course), 2 shocks, neck pillow, skin routine, notebooks, sanitary bags, hat and glasses. Is it not too much, right? : D

I flight from Banda Aceh on 03.50 PM, then landed in KLIA2 on 06.09 PM. Wait, almost forget, in this journey, I was not alone because my staff joins the journey. She wants to try be a backpacker. After we bought some snacks and mineral water, we bought bus tickets from airport to KL Sentral only with 12 RM or Rp 42.000. 

The bus will departure on 07.00 PM, so I waited in bus then got slept again. Distance between airport and KL Sentral 56 about KM, so we need 45 minutes. How to get the ticket? You can buy it in bus ticket counter in ground floor, but if you wanna use skytrain, you can buy the ticket in first floor.

I woke up when the bus almost arrive in KL Sentral. I saw the city from window, I enjoyed every single lights, wonderful buildings, the people and of course the feelings. I never let the moment passed without being captured first. As usual, I always use my feelings to feel it, of course! And so happy for it. One hours passed, we arrived in KL Sentral then went to upstair to got the skytrain and stoped in Pasar Seni station. I thought that this station so strategic because its really closer than my shadow to reach the city. Lol !

We exit from train in Pasar Seni station, we went to hotel just walking because the hotel not too far from night market in Central Market. Honestly, I love this place because full of people but still clean and good looking. The night we ate India food or maybe Bangladesh or Turkey, upssorry because I can not make sure it. Actually, I would like to eat seafood but I was so tired and wanna get sleep as soon as possible, because I do not like beef so I chose ate fried chicken and briyani rice. If you want to eat same menu, you have to pay 12,5 RM as 43.750 rupiah. We finished the dinner almost 10.00 PM, felt so tired, so we excited and went to hotel faster, Alhamdulilah China town hotel closer damn and not bad for backpacker, the price under 200.000 rupiah. There are lifts, hot water, the bad good enough, clean, smell not bad, but I hate because we can hear voice or ngorok from other rooms.



Second day, I woke up earlier to pray then I took a bath and prepared to go. We had plans to visit many places like Twins Tower, Petronas Tower, KLCC, Dataran Merdeka and a lot of places which have great history. We checked out from China Town hotel and went to find halal food around china town. When we will cross the road, we met someone wearing uniform and we knew him member of KL City Hall. I tried to know what is that but google can not help me at the time. But after we had a talk and got breakfast, finally I knew him, he is like administrative police who has responsibility to check every tourist. I felt so blessed met him because he is so kind and explained about KL and Malaysia also accompanied us going to Jame 'Mosque and around that. 

As planned, for this trip, I just want to walk randomly, so I do not have itinerary and plan like usual. I just want to follow the maps and my travel mate. You know why I like this concept? Because I missed to be stranger or feel free passed the day. Haha!

I felt tired, I felt hungry, I felt angry, I felt it so much. I just miss to be myself. The reason I love travel because I can be my own and the reason I insist to solo travel because I do not want to bother people and vice versa. Because not easy to be my travel mate. Haha

As long walk around KL, we just walk and take the bus, the famous bus in here is Go KL, like trans Jakarta but free means  free . Oh, I love it so!

But in this moment, I regret because I cannot try delicious food as my hope like seafood or local food because I don’t have any reference about it. So, I just ate whatever food we met. It’s bad part of this journey, indeed. 

I enjoyed some place in KL, they have detail pattern and vintage designs. Sometimes, I felt so bless that my country have stories with great country like England or another country in Europe. Because they borrow awesome cultures to my country when colonization period. I though, we cannot become like this, be independent country, able access education freely, etc without passed it. Even we cannot deny bad effect like mental illness or another effects. 

Well, back to my trip. Third day, we planned to join with city bus tourism but it was so expensive then we decided to take the Go KL and then went to National Mosque and some buildings around it before we went to airport and went to we went to Thailand by airplane. We booked one room in Glur Hostel in Bangkok. My first impression not good enough because we flight around 7 PM and arrived in Bangkok around 8 PM. The airport not good enough, the worse part because the toilet in there and also the rubbish. I just hate every dirty place. Like usual, after passed the immigration, we went to information center and took the map. I got it. While I read the maps, I tried to ask aiport security. 

I asked how to get hotel around river in Bangkok and she told me to got the bus number A2, we have to buy ticket amount 50 Bath and then stop around national monument. It's not far, around 30 minutes. As my hope, I became stranger, after stopped in bus station, I look around, tried to find the location. I asked another tourist, checked the maps, kept walking, tried to get tuk-tuk and finally I got one kind tuk-tuk because he accept my deals. He asked me to pay amount 150 Bath, but I just wanna pay only 100 Bath. Deal!

Tuk-Tuk like bajaj in Indonesia, one of famous transportation in Bangkok but more expensive than bus. We arrived in Glur Hostel 30 minutes later, almost 00.00 AM, all store closed, we did not have choice to buy some halal food. After checked in, we bought some snack in 7 eleven and got slept. Fyi: this hostel not bad, I loved the rooms, meals, and of course the receptionist, he is so handsome: D but i hate the bathrooms, smell so bad and dirty enough.


First time in Bangkok, it was awesome. I can not to stop looking around because the landscape and buildings so stunning for me. We went to Wat Arun across the river only pay 5 Bath. The large boat helped us to enjoy the Bangkok City widely. Totally happy. Then across the river again went to Wat Pho only pay 4 Bath, I bought fresh manggo only 20 Bath and It was delicious. After felt enough in Wat Pho, we walked to another place and met someone and talked to him about Bangkok. He gave me advice to visit some place and helped me to got the cheaper tuk-tuk.


We planned to take the boat tour but because it was expensive 900 Bath, we decided to change the plan. Short stories, we met driver of tuk-tuk which gave us cheaper budget to bring us looking around Bangkok City and we said yes because only 200 Bath for a hours. He brought me to visit some historical places like Golden Mountain, Standing Buddha, etc


When time is over,  we wasted our time to find Royal mosque around Royal museum, got lost totally, I felt so tired because we walked so far. Take a breath in small mosque around it. I little worried because rain will fall and I did not have umbrella or rain coat, yeah I will play in the rain.  We walked so far to reach bus even rain fallen gradually, at the end we got the bus after asked twice in police station, so difficult to have a talk with them because they do not understand English. We went to Siam Mall then dinner before flight to Phuket.













Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ▼  2018 ( 24 )
    • ▼  November ( 1 )
      • My Precious Jobs
    • ►  Oktober ( 1 )
      • Tinggal
    • ►  September ( 3 )
      • CeritaKita #1
      • Aku Dalam Cerita
      • Telor Kutu
    • ►  Agustus ( 1 )
      • Badai Pasti Berlalu
    • ►  Juni ( 2 )
      • Interesting Knowledge
      • Let's Act Together
    • ►  Mei ( 4 )
      • Mengapa Zakat?
      • Lelah
      • 6 Days Overland In Malaysia-Thailand
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes