TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for September 2016
" Mamak, Mamak sudah doain saya dengan spesifik?"

Terdengar suara tawa dari ujung telephone di seberang sana. Mungkin pertanyaan saya terdengar begitu kaku dan beku.

" Mamak gak pernah lewat kok ngedoain kamu. Jangankan spesifik cuma sekadar minta jodoh buat kamu. Bahkan Mamak sudah sebut tanggal ke Allah. Jadi kamu siap-siap ya. Kalau jodoh kamu datang sebentar lagi"

Lalu saya tertegun sesaat, sebelum akhirnya menutup pembicaraan sore hari ini. 

Iya, Mamak paham sekali apa yang puterinya tengah alami. Berjuang tidak hanya untuk sekadar bertahan hidup, tetapi juga membuat nyata impian demi impiannya, dan menikah adalah salah satunya. Ingat sekali betapa sudah lama mempersiapkan diri sejak lima tahun yang lalu, namun sayangnya Tuhan belum juga berkenan. Sebab perkara jodoh adalah satu hak mutlak Tuhan yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat, setidaknya seperti itu pemahaman saya. 

Tidak hanya di kalangan keluarga, tetapi juga lingkungan kerja, tetangga, teman lama, bahkan seseorang yang baru dikenal, sudah memiliki potensi untuk "ikut meramaikan" isi kepala dengan pertanyaan yang sama, dengan judgement yang tidak jauh berbeda. 

At the end, saya semakin penasaran dengan dia yang menjadi jodoh saya. Satu pertanyaan yang kelak akan saya tanyakan kepadanya, begitu sulitkah menemukan jalan menuju saya? 

Bisa jadi setelah akad tidak ada agenda honeymoon seperti pengantin baru pada umumnya, yang ada adalah agenda story telling yang mungkin tidak akan habis-habis dijadwalkan. Menikah memang menjadi impian setiap hati, sebab kala itu hati tidak lagi kosong dan sendiri. Duka sekali pun akan terasa jauh lebih mudah untuk dinikmati. 

Semoga do'a seorang Ibu kian mempermudah jalan puterinya yang tengah dalam pemantasan diri. Jika itu kamu, maka datanglah. Sebab Ibuku sudah menanti kamu di beranda keluarga kami. Sampai ketemu :')
Terkadang malam menjadi salah satu hal yang tidak ingin aku temui. Seolah ia seperti musuh di setiap musim. Seakan aku ingin terjaga dalam terang. Menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal, berupaya mengurangi beban pikiran. 

Ia terkadang menjadi waktu yang tidak pernah dirindu. Menjadi interval yang tidak pernah dinanti. Sebab ia menjanjikan keheningan, satu jeda yang sangat tidak ingin aku nikmati. 


Kini aku memilih kebisingan, aku menikmati keramaian, aku tidak membiarkan kepala dipenuhi dengan kenangan manis, aku tidak ingin mereka hadir. Barangkali dalam siang aku terjaga dari kubangan di mana kenangan bermuara. 


Sebab aku sedang tidak ingin mengenang. Belum waktunya untuk merasakan manis dalam memori yang pahit. 

Biar aku terus berjalan, tidak peduli ke mana arah yang aku tuju, sebab yang aku perlu hanya meninggalkan semuanya di sini, tanpa perlu aku bawa apalagi kembali. 

Perjalanan masih panjang, aku tidak akan berhenti hanya karena luka di hati. Lekas pun menahun ia akan pulih, semua hanya perkara waktu. 

Langit kelabu tidak selamanya akan turun hujan, usai badai tidak selalu ada pelangi, dan bintang tidak melulu menghiasi malam, tetapi harapan untuk bisa menggenapkan hidup akan selalu tumbuh. 

Selamat tinggal,malam! 

Aku menemukannya di pagi hari yang sepi. Hanya ada suara angin dan udara yang melalui saluran pernafasan. Hening lagi sunyi. Sesekali ku dengar suara anak burung pipit, hanya sesekali. Aku memimilih duduk di rerumputan yang hampir menguning. Mengabaikan buliran air yang membuat mereka menjadi basah. Aku kembali tertegun, kembali pada ingatan-ingatan, tentang hidup yang sudah dijalani selama ini, tentang kekeliruan dan tentang masa depan. 

Aku meneruskan moment ini hingga matahari mulai meninggi. Seolah menyadarkan bahwa sudah waktunya beranjak. Esok pagi bisa kembali untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai. Alam nampak menjadi salah satu tempat berpulang ketika langkah kian melemah, selain sujud malam yang kian dirindukan. 

Saat mereka mengatakan bahwa aku seharusnya tidak perlu memikirkan hidup terlampau keras, sebab tidak baik untuk aku, sayangnya, aku belum menemukan formula untuk menurunkan kadar dalam memikirkan kehidupan yang tengah dijalani. Aku, seseorang yang memang terlalu menginginkan semua sempurna, semua sesuai dengan apa yang aku design di dalam pikiran, seolah lupa bahwa bukan aku yang mengatur semua, bukan aku yang memiliki hidup. Aku terlalu memaksa kemampuan yang sangat terbatas, lantas Tuhan mengingatkan kembali melalui banyak peristiwa bahwa aku hanya manusia biasa, perempuan biasa yang jauh dari kesempurnaan. 

Pada titik ini, aku seharusnya semakin terlatih untuk menerima kehadiran kejutan Tuhan. Berkat yang kadang diabaikan dan tidak diakui keberadaannya. Padahal Tuhan sudah sangat berbaik hati, tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang meski berwujud ujian. 

Mengakhiri September dengan tidak menumpah-ruahkan air mata lagi. Sebab pasti selalu ada cara untuk bisa bahagia. Kadang, kita sendiri yang membuat hati merana dengan angan-angan atau harapan semu. Maka berhentilah untuk menipu diri sendiri. Hidup selalu memberikan pilihan dengan hitung-hitungan, maka kita perlu mempertimbangkan segala sesuatu dengan sangat bijak dan realistis. 

Barangkali manusia yang beruntung itu salah satunya adalah yang memiliki kesempatan untuk menikmati pagi lengkap dengan waktu untuk bermuhasabah diri. Semoga Tuhan senantiasa mengasihi, semangat pagi!
Salah satu waktu terbaik untuk berdoa adalah tatkala hujan turun dari langit. Karena hujan selamanya akan menjadi berkat. Ia berpulang, menuju bumi, meresap kembali ke tanah, sebelum akhirnya ia melewati proses penguapan dan atas izin Tuhan kemudian menjadi buliran yang di sebut hujan. 

Hujan adalah nyanyian bagi sebagian orang, menjadi sahabat, menjadi ruang yang nyaman, menjadi alunan yang begitu menenangkan. Hujan di bulan September, ia turun bersamaan dengan doa-doa yang dinaikan. Doa-doa yang dipanjatkan oleh hati yang selalu menumbuhkan harapan, meski berulang kali tenggelam bersama senja, namun pagi membangunkannya kembali. 

Hujan yang membawa kebaikan, seolah setiap tetesnya menjadi tetesan yang berisi satu doa. Lalu tidak terhitung lagi berapa banyak doa yang dikandung oleh banyaknya tetesan air hujan. Ada banyak harapan, setiap kita yang mengharapkan kebaikan, mengharapkan impian yang menjadi kenyataan. Kini doa tidak hanya berwujud kedua tangan yang diangkat untuk meminta, tidak hanya berwujud sujud yang dipanjangkan untuk memohon, tetapi juga berwujud tetesan hujan yang dilapisi oleh dzikir, usaha dalam mengingat Tuhan pencipta alam, hati yang terus berusaha mengingat dan bersyukur. Berharap Tuhan selalu memperkenankan.

Hujan di bulan September, seolah memahami benar apa yang terjadi saat ini. Saat  di mana hati sudah berhenti pada satu titik yang ditemui. Ia seolah tengah mendapati, ada hati yang tetap menanti. 

Hujan di bulan September,
Tidak terhitung lagi
Saya seorang perempuan. Asli perempuan, sama seperti perempuan kebanyakan. Hidup saya penuh dengan drama yang berasal dari keterlibatan perasaan dalam hal apapun. Tidak terkecuali. Setiap hari saya mencoba belajar. Dari interaksi dengan orang lain yang saya temui,dari mengamati orang lain di sekitar saya, dari status orang lain di media sosial, dari artikel yang ditulis oleh orang lain. Saya belajar banyak. 

Dan hari ini saya kembali belajar, bagaimana menanggapi karyawan yang ingin mengundurkan diri dari pekerjaaanya karena merasa tidak mampu, bagaimana turut merasa lucu ketika orang lain sedang berusaha melawak, pun belajar memahami  persepsi laki-laki. 

Salah satunya tentang seorang penulis laki-laki yang sering menuliskan tentang dunia laki-laki dalam topik menikah-pernikahan. Selain membaca terjemahan Al-Qur'an yang memang mengandung aturan tentang hal ini , membaca buku fiqih nikah, mendengarkan kajian para ulama tentang menikah, tulisan Kurniawan Gunadi menjadi salah satu rekomendasi saya. Dia penulis muda yang sangat berbakat, tulisannya berisi, terutama bagian pernikahan. Jujur saya bukan salah satu pembacanya, tetapi hari ini, baru saja saya mencoba membaca beberapa tulisannya di blog pribadinya, dan saya harus saya akui, saya menyukai tulisan dan cara ia menuangkan pesan yang berkualitas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. 

 Karena menikah tentu saja harus bermodal, tidak hanya materi, tetapi juga ilmu. Saat ini banyak sekali anak muda berani untuk mengambil langkah nyata dalam menjauhi zina dengan menikah di usia yang terbilang masih muda. Tidak khawatir berlebihan tentang kehidupan setelah menikah. Barangkali karena ilmu yang mereka miliki pun sudah cukup menjadi modal untuk memutuskan membangun keluarga. 

Karena tidak ada yang perlu diragukan jika kita percaya bahwa pernikahan akan membawa berkah bagi keduanya, termasuk rizki yang akan Allah tambah. Begitu pun yang ada di dalam benak saya, sebagai perempuan yang memiliki kegemaran travelling, membeli buku, nonton di bioskop, perawatan wajah,  dll saya tidak pernah khawatir akan pekerjaan suami atau pasangan saya nantinya. Tidak harus pegawai, tidak harus anak jendral, tidak harus exmud, yang penting laki-laki yang memahami Islam, setidaknya sedang belajar memahami apa yang ia imani, laki-laki yang patuh terhadap orangtuanya, menyayangi Ibu dan keluarganya, laki-laki yang bertanggungjawab atas kehormatan dirinya dan orang lain, laki-laki yang mengerti bagaimana menjadi seorang laki-laki, laki-laki yang tidak mudah dipatahkan, laki-laki yang mau berjalan lebih jauh, laki-laki yang tidak mudah mengeluh, laki-laki yang sedia menggenggam tangan isteri dan keluarganya di jalan kebaikan. 

Sejak dahulu, saya tidak pernah khawatir akan hal ini. Bisa jadi karena saya juga mandiri, tidak bergantung secara finansial. Dan bisa jadi karena saya belajar banyak dari keluarga saya, Mamak dan Bapak menjadi cerminan bagaimana saya kemudian menjadi perempuan dewasa. Tidak ada yang sempurna, proses pun hasil, tetapi saya percaya bahwa selama kita mengikuti aturan Tuhan akan membawa kita pada kebaikan. 


Berkumpul dengan orang-orang berilmu tidak akan pernah sia-sia, kita bisa belajar banyak hal dari mereka, dari orang lain.Dan menjadi orang yang beruntung ketika kita bisa mendapatkan makna hidup, hikmah dari sebuah peristiwa tanpa harus mengalaminya secara langsung. 

Mari berburu ilmu, mengaplikasikannya dalam kehidupan. Merawat keyakinan bahwa Tuhan semesta alam akan selalu membersamai kita dalam setiap tarikan nafas, semoga kita menjadi manusia yang beruntung. Mari belajar banyak.
 
Entah bagaimana saya bisa menjalani dan menikmati hidup seperti ini. Bangun setiap pagi, melakukan aktivitas yang sama di pagi hari. Nyaris selalu sama, tidak ada yang berbeda termasuk menyempatkan diri untuk menatap sosok yang ada di dalam cermin seraya mengucap syukur. Alhamdulilah

Saya termasuk seseorang yang lekas bosan, lebih menyukai hidup yang dinamis. Tidak jarang rekan mengatakan bahwa hidup saya begitu banyak kejutannya. Iya, saya pun merasa seperti itu. Tuhan memang begitu handal dalam mengatur segala sesuatunya. Termasuk rasa bosan, jenuh juga penat yang datang.

Sebagai anak rantau yang hidup sebagai anak kost, saya banyak menghabiskan waktu di luar. Delapan jam untuk bekerja, artinya saya menghabiskan waktu di kantor selama delapan jam, jam lima sore adalah jam pulang kerja. Jika saya sedang tidak ingin pulang ke rumah lebih awal, biasanya saya akan menghabiskan waktu di toko buku, atau menonton film di bioskop, atau sekadar beraktvitas di depan laptop dengan fasilitas wifi di cafe. Dan paling banyak saya melakukan itu semua seorang diri. Hah? apa tidak memiliki teman ?

Teman, tentu saja saya memiliki teman seperti kebanyakan orang. Saya berada di Jayapura hampir tiga tahun. Menjadi sangat merugi ketika saya tidak memiliki satu teman pun. Namun dalam hal ini, dalam menghabiskan waktu sehari yakni 24 jam, paling banyak memang saya habiskan seorang diri. Selain kondisinya memang seperti itu, saya juga bukan tipikal perempuan yang nyaman untuk selalu beraktivitas dengan orang lain. Males ribet, saya sering beranggapan seperti itu. Ketika harus membuat janji bertemu dengan teman, lalu si teman tidak on time, kemudian saya menunggu dengan suasana hati yang sudah berubah, dan bla bla bla, hingga akhirnya ada waktu yang terbuang dengan perasaan yang tidak menyenangkan.Contoh lain, ketika ke toko buku, saya biasanya pergi ke toko buku setelah jam pulang kantor. Jika mengajak teman-teman yang notabene kantornya berbeda, belum tentu mereka bisa, padahal saya sudah menunggu misalnya. Begitu pun saat menonton atau sekadar nongkrong. Saya memang tidak ingin kebahagiaan saya bergantung dengan orang lain, siapapun.

Saya merasa me time atau waktu untuk diri sendiri memang penting untuk dilakukan, agar bisa mengenal lebih jauh diri sendiri. Supaya benar-benar mengetahui apa yang dibutuhkan, apa yang disukai dan tidak disukai, benar-benar melakukan perjalanan menuju diri sendiri, yang terkadang bisa menjadi perjalanan yang melelahkan karena terlalu banyak jalan yang berputar-putar tanpa titik temu karena hati dan pikiran pun tidak seimbang. 

Dan akhirnya, saya harus mengakui bahwa saya terlalu menikmati waktu bersama diri sendiri, meski mungkin berlebihan pun menjadi tidak baik :D
Selama ada pagi, maka selalu ada harapan baru

Aku sedang tidak mencari teman untuk berbagi masa lalu, melainkan masa depan. Sebab selamanya masa lalu tidak akan pernah bisa kita bagi. Maka itu kah kamu?

Rasa yang disebut sebagai cinta memang rasa yang Tuhan kirimkan pada kita, manusia. Rasa yang aku anggap sebagai bahasa universal, yang siapapun mampu memahaminya. Tidak satu pun hati yang dimiliki oleh manusia tidak mengerti cinta. 

Aku pernah mengalami kegagalan dalam memaknai cinta di masa lampau. Aku pikir itu yang mereka sebut cinta, ketika aku menyambut baik perasaan yang ditawarkan oleh mereka di masa lalu. Di masa lalu, aku pernah memberikan kesempatan kepada dua orang dalam waktu yang berbeda untuk bisa saling mencinta, mereka yang menawarkan membangun sebuah keluarga tanpa harus berlama-lama saling mengenal. Mereka mengawali pertalian ini, lalu aku dengan niat sederhana menyambungkan pada hati, hingga aku memberikan perasaan yang aku pikir sama. I gave it to them; love.

Lalu Tuhan menunjukan bahwa jalan, cara dan orang yang aku pilih mungkin salah. When you know something is wrong but you do it anyway,what the ***?! Lalu berulang kali Tuhan menunjukan bahwa aku lagi dan lagi melakukan kesalahan yang sama. Hingga pada satu titik, aku menyerah. 

Bekal hidup yang paling benar adalah ketika kita memahami dengan benar apa yang Tuhan ajarkan. Iman selalu naik-turun. Begitu pun dengan apa yang ada di dalam hati. Sebagai seseorang yang tidak luput dari dosa, aku tidak pernah berhenti belajar dan memperbaiki diri, terus menerus. Hingga Tuhan berkenan menaikan aku ke kelas yang lebih tinggi. Tertinggal di kelas bawah tentu saja membuat aku depresi. I dont know what should I do. Ujian yang sama dan aku masih melakukan kesalahan yang sama seakan-akan membuktikan betapa bodohnya aku sebagai manusia. Namun aku terus menguatkan diri dan terus berusaha berbaik sangka. Tuhan tentu tidak akan membiarkan aku seorang diri melewati semua ujian ini, kan?

Kali ini Tuhan memberikan ujian dalam bentuk yang berbeda, meski masih dengan topik yang sama. Ia datang tidak menawarkan apa-apa, ia tidak menjanjikan apa-apa, ia bahkan mengatakan bahwa kemungkinan untuk bersama sangat kecil peluangnya. Ia berusaha semampu yang bisa ia lakukan, sejak saat ia memiliki rasa. Ia hanya diam dari kejauhan, memastikan bahwa yang ia miliki adalah sebuah kebenaran. Dan untuk pertama kalinya aku tidak memberikan apa-apa, tidak seperti di masa lalu. I don't give him a love, but I fall in love with him . 

Lalu apa bedanya? Tentu saja berbeda, jika di masa lampau aku tidak memerlukan usaha untuk mencintai, sebab mereka memberikannya dengan berlebih meski ternyata palsu. Tetapi tidak untuk saat ini, aku begitu berusaha melawan rasa yang ada, aku berusaha menolak keberadaanya. Trauma masa lalu membuat aku enggan untuk beranjak lebih jauh ketika ada tembok besar yang menghalangi. Sebab bijak bestari mengatakan jika jodoh, maka perjalanan akan lancar. Pertanyaanya, selalu seperti itu kah perjalanan jodoh? selalu lancar tanpa sedikit pun hambatan? begitu kah? Namun apa yang terjadi? Perasaan yang ada bukannya menghilang namun ia semakin mencuat ke permukaan. Itu kah kamu? Salah satu pertanyaan yang selalu aku tanyakan dalam sujud yang diperpanjang. Sejak ia menyampaikan niatnya, aku tidak buru-buru berbahagia, sebab aku mengingat luka lama, kebahagiaan yang terlalu cepat datang, bisa jadi ia pun akan cepat hilang. Maka aku selalu mempertanyakan pada Tuhan ' Tuhan, ia kah yang benar? Jika ia, maka berikanlah jalan. Namun jika bukan, kembalikan pada yang benar'. Lalu Tuhan menjawab dengan apa yang terjadi saat ini. Tetapi, apakah kita harus begitu cepat menyimpulkan? Bisa jadi Tuhan tengah menguji kita, tengah memastikan bahwa kita sungguh-sungguh atau memang benar ini cara Tuhan dalam menjauhkan kita? Melalui tembok besar di hadapan kita? Lalu sampai kapan kita akan bersembunyi? Sampai kapan kamu hanya diam dengan luka itu? Sampai kapan kita saling menyakiti dari kejauhan?

Ia yang pernah berusaha memadamkan apa yang membara di hatinya berulang kali, namun gagal. Ia yang pernah mencoba pergi dan berpaling, namun ia kembali lagi dan mengatakan tidak bisa melakukannya. Ia yang pernah mencoba segala cara untuk membunuh harapan dan rasa, namun ia belum juga berhasil. Hey, adakah siksaan yang lebih menyiksa dari ini semua? menyaksikan seseorang yang begitu mengharapkan kamu tengah membunuh dirinya sendiri secara perlahan?  
  
Kini aku tidak memiliki keberanian untuk berdoa. Aku khawatir doa yang aku panjatkan berisi tuntutan pada Tuhan. Berisi pertanyaan yang menyudutkan. Tetapi apa yang bisa aku lakukan selain berdoa? Meratapi kesedihan bukan lagi sebuah jalan yang aku pilih. Ini bukan pertama kali Tuhan memberikan ujian untuk menguatkan hati.

Ketika aku jatuh cinta, aku kembali melakukan kesalahan. Sebab belum tentu ia yang sebenarnya. Lalu apa kabar hati nantinya? Bukankah ia pernah terluka parah? Apa jadinya jika ia harus merasakan luka yang jauh lebih parah. Bukan, bukan karena dikhianati, bukan karena kebohongan, tetapi karena rindu yang tidak bisa disampaikan meski hanya melalui do'a. Sebab keberanian sudah hilang bersama harapan yang dipangkas oleh pemiliknya. Aku tidak pernah menyesali apa-apa, kesalahan yang pernah aku lakukan membawa aku pada satu muara, makna. Aku tidak pernah menyesal pernah jatuh cinta, meski pada akhirnya kita juga harus berpisah bahkan jauh sebelum kita bersatu. Dan kini biarkan waktu yang menyelesaikan cerita, mari kita terus berjalan, jika nanti perjalanan ini menuntun kita pada titik yang sama, bersiaplah kita menerima apapun yang terjadi. Tuhan memiliki cara tersendiri, mari kita percaya.


Ia sudah layu bahkan sebelum tumbuh
Ia sudah mati bahkan sebelum hidup
Aku sudah jatuh bahkan sebelum kamu membangunnya

Jika cinta seperti tunas, maka berapapun kamu pangkas maka ia akan terus tumbuh
Jika kamu ingin membunuhnya, maka cabut akarnya, bukan tunasnya
Namun jika tidak, biarlah ia tumbuh seperti harapan yang dibawa oleh pagi

Biarkan Tuhan memberikan jalan untuk menyatukan atau melepaskan
Tidak ada hati yang tidak mampu merasakan senandung rindu
Tidak ada hati yang tidak mampu memahami ketulusan rasa
Maka dengan demikian do'a menjadi jalan yang paling utama
Semoga cinta yang kita bangun sejak kita jatuh menjadi kebaikan bersama 
Dan semoga kali ini aku sedang tidak melakukan kesalahan, kembali.




Persahabatan akan membawa kita pada kejutan yang bisa jadi adalah impian kita di masa lampau



Perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang memiliki banyak tujuan. Tidak hanya menghadiri pernikahan seorang sahabat, tetapi juga misi “perjalanan a(r)ti” seperti biasa yang selama ini saya lakukan. Berlangsung di bulan Agustus 2015, malam itu saya memutuskan berangkat dari rumah. Karena masih di kampung halaman, sehingga saya memutuskan ke Jakarta tidak dengan pesawat. Saya memilih untuk naik kapal, selain karena memilih yang lebih ekonomis, saya juga senang menikmati perjalanan darat. Sebab saya suka mengamati apapun yang ada di sepanjang jalan, sembari membiarkan pikiran saya berbicara seorang diri. 

Berangkat dari rumah dengan menggunakan travel menuju pelabuhan Bakauheni. Hanya dengan tujuh puluh ribu rupiah maka saya bisa duduk santai menikmati perjalanan yang berdurasi kurang lebih tiga jam. Kampung halaman saya berada di Kota Sukadana, Lampung Timur, sementara pelabuhan Bakeuheni berada di Lampung Selatan. 

Tiga jam berlalu, saya kemudian membeli tiket di pelabuhan Bakuheni hanya dengan uang tiga belas ribu rupiah. Tidak ada bagasi atau barang bawaan yang berlebih. Tidak ada di dalam kamus perjalanan saya membawa oleh-oleh atau barang bawaan yang nantinya akan memenuhi tangan. Saya hanya akan mengisi punggung saya dengan satu tas, titik.

Kali ini kapal fery yang katanya masih baru ini akan membawa saya menuju pelabuhan Merak dalam kurun waktu 2-2,5 jam. Saya akui kapal kali ini memang jauh lebih bagus dari biasanya. Tidak hanya kualitas air conditioner yang masih bagus, tetapi juga kursi dan aroma ruangan yang terawat. Sangat bagus untuk saya menenggelamkan diri pada alam mimpi a.k.a tidur. 

Penerbangan menuju Aceh masih esok sore, sementara saya akan sampai di Merak pada dini hari. Saya memang berencana untuk singgah di rumah salah satu sahabat Pencerah Nusantara yang bernama Resti, teh Resti saya biasa memanggilnya. Dari Merak saya turun di terminal Pakupatan. Dari pelabuhan Merak menuju terminal Pakupatan saya hanya mengeluarkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Karena rumah teh Resti tidak dilewati oleh angkutan umum, maka saya menggunakan jasa ojek. 

Singkat cerita, saya beristirahat di kediaman teh Resti hingga siang hari sebelum saya melanjutkan perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. 

***
Sekitar pukul dua siang saya diantar oleh ayah teh Resti menuju halte damri. Selang beberapa waktu bus damri menuju bandara tiba tepat dihadapan saya. Hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam maka saya sudah berada di bandara Soetta. Dan di sana saya bertemu dengan Tosari Gals yang terdiri dari Lanlan dan Nenek. 

Betapa sempurnanya perjalanan kali ini, tidak hanya karena destinasi yang menggugah naluri, tetapi juga karena teman perjalanan yang merupakan sahabat karib hati. Ahey!

Penerbangan  kami menuju Aceh kali ini bersama cabung besi milik Garuda. Betapa nyamannya melihat pramugari dan pramugara yang menyapa dengan mengucapkan salam, mengajak berdo’a ah tapi sayangnya tidak mengajak ke pelaminan #eaaaa

Sampai di Banda Aceh hampir tengah malam sekitar pukul 10, hal ini terjadi dikarenakan pesawat delay. Meski lelah, saya tetap mampu menikmati pemandangan malam hari di sini. Aceh, ah saya sudah terlalu senang. Kehabisan kata-kata.
Pernikahan Kak Fairuz

Hari pertama di sini dipenuhi dengan agenda pernikahan Kak Fairuz. Kami menginap di hotel Kuala Radja yang berada di pusat kota. Hari pertama kami mendapatkan wisata gratis ke Masjid bersejarah di Banda Aceh yakni Masjid Baiturrahman. Masjid raya yang tidak hanya indah, tetapi detail arsitekturnya membuat saya takjub. Tidak hanya bangunan masjid, tetapi juga taman dan ornamen-ornamen secara keseluruhan. Ah, saya memang mudah sekali jatuh cinta!
Kami di Pantai Lampuuk

Setelah mengikuti prosesi pernikahan Kak Fai, kami ( Tosari Gals) ditemani oleh seorang teman yaitu Bang Alan, “pamit” untuk mengexplore kota Banda Aceh. Berawal dari Museum Tsunami, Museum Kapal PLTD Apung, Pantai Pasir Putih Lampuuk yang begitu menyejukan mata. Ah, Aceh mmebuat saya jatuh cinta berulang kali, pada alamnya :D

Tidak hanya itu, tetapi juga kuliner yang disediakan. Cita rasa yang sempurna, lengkap dengan rempah-rempah yang pekat dan juga lezat. Tidak hanya mie aceh, tetapi juga ayam tangkap, kue cane dan aneka makanan yang lain. Saat di Aceh, lupakan diet, lupakan program pelangsingan atau apapun namanya, karena makanan Aceh terlalu sayang untuk dilewatkan!

***
Keesokan harinya kami bersiap-siap menuju pulau Sabang. Salah satu pulau yang menyediakan keindahan alam yang tidak hanya mengindahkan pandangan, tetapi juga memberikan ketenangan karena pantai-pantai di sana menyediakan “ruang” untuk kita mendapatkan ketenangan.

Pagi hari yang sudah diisi dengan semangat menjelajah. Hari ini kami tidak hanya bertiga, tetapi berempat bersama Luwi. Bule asal Kanada yang merupakan teman Kak Fairuz dan teman kami juga tentunya.
Dari hotel menuju pelabuhan Ule Lheu kami diantar oleh beberapa teman yang memang tinggal di sini, Bang Idus dan Bang Ilham. Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di pelabuhan. Dan ya, dihadapan kami sudah nampak pintu masuk ke dermaga. Rasa senang di dalam hati..*abaikan*
Di pelabuhan Ule Lheu
Sabang, salah satu destinasi impian yang sudah menjadi kenyataan.

Berangkat menuju Sabang sekitar pukul 09.30 WIB, perjalanan laut hanya sekitar 45 menit, menggunakan kapal cepat VIP dengan harga tiket Rp. 100.000. 45 menit di dalam kapal kecil tentu saja sedikit mengguncang isi perut, untungnya kami bisa pura-pura tertidur.

Kini sudah nampak di hadapan kami pelabuhan Balohan. Pelabuhan yang kecil tetapi cukup ramai. Dipenuhi dengan kendaraan roda dua dan kerumunan laki-laki dewasa yang sudah siap untuk menawarkan jasa menjadi guide pun menawarkan penyewaan kendaraan untuk berkeliling di Sabang.Kami memilih untuk menyewa motor, 2 motor yang kami sewa hanya dengan satu lembar lima puluh ribu rupiah. 

Maka kehebohan dan jiwa 'pembalap' pun muncul seketika. Saya membonceng Nenek sementara Luwi membonceng Lanlan. Kami blusukan bertanya kesana kemari agar tidak salah jalan. Mengingat perjalanan kami hanya satu hari. 

Sungguh mudah sekali bisa berbahagia hari itu!

 

Sekitar 1,5 - 2 jam kami berkendara, sebelum akhirnya kami sampai di tugu titik nol kilometer, Sabang. Meski masih dalam proses renovasi, kami masih berkesempatan untuk mengabadikan gambar bersama di sini. Tidak lupa kami melihat-lihat pemandangan di sekitar. Laut lepas, tenang, biru dan penuh kedamaian. 

Selanjutnya kami memutar arah, mengexplore pantai sepanjang jalan. Banyak sekali pantai yang masih begitu polos tanpa banyak riasan. Kami menikmatinya barang lima sampai sepuluh menit. Sebab roadshow kami harus tetap berjalan. Kami menyusuri sepanjang jalan. Beberapa kali berhenti di random spot untuk sekadar mengambil gambar. tidak terhitung ada berapa banyak pantai yang kami kunjungi hanya sekadar say hi. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa suatu saat harus kembali ke sini, menikmatinya dengan tenang.

Sore hari kami kembali ke Banda Aceh. Kemudian menikmati waktu yang tersisa dengan berkeliling di kota Banda Aceh sambil mencari buah tangan khas Aceh. 

Aceh memang salah satu destinasi yang suatu hari harus saya ulang. Sebab masih sangat banyak pantai dan tempat-tempat wonderful yang belum saya datangi. Apalagi under water di sana! argh, someday! Maafkan saya karena pada perjalanan kali ini tidak banyak foto stunning yang bisa saya tangkap. Selain karena begitu menikmati, satu hari sungguh tidak cukup untuk sekadar hunting gambar. Maka dengan tegas saya mengatakan, Yuk ke Aceh!



See you again, Aceh! be nice please :)


 

Awan itu seperti kamu, yang selalu membuat aku ingin terus terbang, jauh lebih tinggi lagi
Kali ini perjalanan dinas membawa saya menuju Ibukota dari Papua Barat, Sorong. Penerbangan dari Jayapura pukul 09.10 WIT jika sesuai jadwal, sayangnya borading hampir pukul 09.35 WIT. Penerbangan kali ini bersama Nam Air, cukup nyaman untuk berada di awan kurang lebih 1,5 jam.

Saat menulis ini, saya masih di pesawat. Menikmati pemandangan dari jendela yang begitu menyejukan mata. Hamparan awan putih yang tersusun rapi, berlapis-lapis, bergerak dengan kesesuaian.

Mata saya menyapu seluruh pemandangan yang terjangkau. Indah, Maha Suci Allah dengan segala keindahanNya.

Sedikit turbulensi cukup menyadarkan lamunan saya. Betapa hidup memang harus dijalankan dengan kesadaran yang maksimal. Karena dengan begitu maka kita akan semakin paham bagaimana harus membuat hidup menjadi tidak sia-sia. 

Tiga hari bekerja, definisi bekerja yang menurut saya sangat menyenangkan. Betapa tidak, pekerjaan saya membawa saya bertemu dengan kelompok belajar yang peduli terhadap pendidikan Suku Kokoda, salah satu suku asli di tanah Papua Barat ini. Hari pertama saya bertemu dengan mereka, membincangkan banyak hal, mulai dari A hingga a lagi. Saya belajar banyak dari mereka semua, bagaimana untuk tetap bertahan hidup tanpa mengabaikan nasib sesama. Bagaimana memulai sebuah cita-cita yang mulia melalui hal-hal kecil bagi kita namun bisa jadi hal besar dan berharga bagi orang lain. Maka dalam kehidupan ini, sudah pantaslah kita tidak hanya melihat satu sudut pandang. Perkayalah!

Hari kedua, saya langsung ke pemukiman Suku Kokoda. Terdapat sekitar 13 bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu, rumah seadanya, dengan genangan air di bawah rumah dan beberapa lapisan sampah plastik yang tidak mungkin terurai. 13 rumah yang satu rumah mungkin menampung 3-4 kepala keluarga. Saya tersenyum meski dalam hati menangis, bagaimana bisa mereka hidup seperti ini selama ini?

Tidak berlama-lama bermelankolis, karena dihadapan saya ada puluhan anak yang menyambut dengan penuh suka cita. Saya begitu malu datang ke sini dengan penampilan yang begitu rapih. Harusnya saya bisa sedikit lebih santai dengan menggunakn jeans dan kaos oblong tanpa menginggalkan daypack dan topi kesayangan. Tetapi apalah daya, saya terpaksa tetap bermain dengan mereka lengkap dengan pakaian kerja yang menurut saya "enggak banget"!


Anak-anak ini, saya belum mengerti hingga saat ini. Bagaimana mereka bisa tetap nyaman menjalani hari sementara cairan yang keluar dari hidung mereka tidak juga berhenti? Bagaimana mereka bisa bermain di halaman yang penuh dengan air bewarna cokelat. Lalu bagaimana pertumbuhan mereka selanjutnya? Saya tidak berani membayangkan jika melihat kondisi mereka yang bisa dibilang kurus, perut buncit, dan ya seperti yang kita ketahui pada umumnya.
Dan yang lebih membuat hati saya perih ketika mereka saya ajak bernyanyi dan belajar bahasa, mereka hanya merespon seadanya atau merespon dengan respon yang tidak sesuai. Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa keputusan untuk membina komplek ini cukup tepat, asal mampu memberdayakan mereka dan meningkatkan daya ungkit mereka. Tidak dengan memberikan bantuan materi secara langsung. Jangan!

Hidup memang selalu memiliki rupa, beragam, tidak berbatas dan tidak sama..

Setelah dua hari bersama kelompok belajar dan suku Kokoda, maka hari selanjutnya saya menghabiskannya dengan meeting bersama calon partner. Seperti Jayapura, Kota Sorong sudah cukup maju. Selama saya berada di sana, saya sempat bertanya di dalam hati " Ini Jawa kah Papua?" . Pertanyaan tersebut naik ke permukaan begitu saja, karena sepanjang mata memandang, yang saya temui bukanlah orang Papua dalam arti sebenarnya, tetapi masyarakat transmigrasi yang sudah menahun di sini. 

Salah satunya adalah lawan bicara saya kali ini. Mereka akademisi yang sudah cukup lama membangun peradaban di Sorong. Tidak hanya di bidang pendidikan  tetapi juga kesehatan dan kehidupan sosial. Sekitar 2-3 jam berdiskusi dengan mereka membuat saya kembali belajar, bagaimana menjadi seseorang yang menyenangkan namun tetap sopan dalam nilai. Bagaimana menjadi seseorang yang pandai dan cakap demi kemajuan umat. Lelucon kadang menjadi kata kunci dalam sebuah kesuksesan. Karena dengan lelucon, singan pun bisa jadi tertawa terbahak-bahak, asal singanya mengerti saja :p 

Dan selanjutnya hari terakhir, di mana saya menghabiskan waktu bersama seorang teman wartawan, seseorang yang menyenangkan dan cukup easy going.  Kami menyusuri beberapa pantai, bermain ke pulau terdekat yang hanya ditempuh dalam beberapa menit, dan akhirnya menikmati senja di pelabuhan kecil milik kepolisian setempat. Ada satu pantai yang begitu tenang, meski suhu menunjukan angka 34 derajat celcius, namun angin yang datang dan pergi meninggalkan kesejukan. Saya jarang sekali bisa menikmati waktu seperti ini, duduk santai, kepala mengadah ke arah langit, menikmati suara ombak dan lembutnya pasir putih. Meski memiliki teman pasa siang itu, namun saya mampu memberikan waktu untuk diri sendiri. Betapa nikmatnya berjalan menuju ke dalam diri, ia teramat dekat, namun kadang menjadi perjalanan yang melelahkan. 


Lagi-lagi saya harus mengakui bahwa hidup akan terasa sangat menyenangkan dan membahagiakan ketika kita tetap on the trackNya dan tidak lupa bersyukur!

Bisa jadi senja akan terlihat berbeda, namun satu yang akan tetap sama; rasa


See more picture on my instagram @Fenymariantika
Sebab saya tidak kaya harta, maka izinkan saya bersedekah dengan sebuah senyum di suatu pagi yang sahdu
PERHATIAN : tulisan ini sebuah tulisan yang mengandung curhat dari penulisnya. Jika tidak sanggup membaca, maka pilih tulisan perjalanan saja :)

Tidak ada satu detik pun di dalam hidup yang sia-sia. Sebab selalu ada hal yang membuat satu detik menjadi bermakna. Contoh saja, seseorang tengah duduk di depan sebuah laptop. Ia tengah berusaha menuliskan apa yang sedang ia pikirkan. Entah sudah berapa detik yang berlalu dalam proses tersebut. Apakah detik yang sudah berlalu sia-sia? Tentu saja tidak, sebab tanpa detik-detik yang ia lalui untuk berpikir, menyambungkan tiap kata, tiap memori, maka tidak akan ada tulisan yang sedang anda baca. 

Begitu pula dengan apa yang terjadi di hari kamu, dalam kehidupan kita, sebagai manusia. Saya percaya kita semua mengetahui dengan jelas bahwa apapun yang terjadi kemarin, hari ini dan esok hari, Tuhan sudah menuliskannya dengan rinci dalam buku tiap manusia. Lalu bagaimana jika kita sebagai manusia menolaknya?

Pertanyaanya : Apakah bisa?

Contoh lagi : dalam perjalanan hidup saya, di tahun 2010 saya sudah menulis cerita lebih dari 100 halaman. Saya sejak dahulu yang begitu menyukai menulis berusaha untuk membuat buku yang salah satunya berjudul " Kilometer itu bernama kamu". Saya menulis hampir setiap hari, dengan atau tanpa mood yang baik. Namun hingga saat ini, draft tulisan saya masih tersimpan rapi dan belum masuk ke ruang editor mana pun. Menurut kamu, semua itu terjadi atas izin Tuhan? Menurut kamu adanya draft buku itu sudah ada dalam buku yang Tuhan tuliskan untuk saya? Tentu saja jawabannya adalah YA.

Lantas apa saya tidak kecewa karena rencana melahirkan sebuah buku belum berhasil? Dengan jujur saya harus mengatakan tidak, tidak kecewa sama sekali. Mengapa bisa begitu? Saya sendiri pun tidak tahu dengan pasti. Saya hanya sedikit paham bahwa saya menuliskannya karena saya menyukai menulis, bukan karena ambisi saya menjadi penulis dan melahirkan banyak buku, pada saat itu. Perasaan kecewa ini datang dari siapa? atas izin siapa? dan yang membuat saya tidak kecewa siapa? Maka Tuhan memang satu, kita yang tak sama *abaikan*

Dalam tulisan saya sebelumnya, banyak sekali tulisan yang mengandung kekecewaan pada beberapa fase hidup, mengandung asa yang putus, mengandung kesedihan yang mendalam, mengandung semangat yang membara, berisi pula ungkapan manis penuh cinta saat sedang jatuh cinta, dan sebagainya. Menurut kamu, wajar atau tidak? Bukan kah setiap kita memiliki cara tersendiri dalam berekspresi? dalam menyalurkan emosi sebagai manusia. 

Lalu apa yang didapatkan dari serangkaian fase hidup yang fluktuatif ini? Hidup memang gak asik kalau flat!

Begini, saya ingin sekadar berbagi. Harus saya akui, jalan hidup saya memang tidak semulus wajah saya. Haha! Artinya, banyak sekali cara Tuhan untuk membuat saya tetap "hidup" dalam kehidupan ini. Jatuh bangun, naik turun, sedih bahagia, tawa tangis, semua lengkap. Saya yang baru berusia 26 tahun ini sudah cukup banyak merasakan perjuangan untuk bisa tetap menjadi manusia yang baik dan bermanfaat dengan standar yang ada. Perjuangan yang membuahkan hasil pujian atau label bahwa saya sosok yang "keren" di mata mereka. Ah ya, jangan terburu-buru menyimpulkan bahwa saya ini keren, sebab sesungguhnya saya tidak se-keren yang ada dikepala kalian.  

Di usia yang sudah cukup matang ini, saya semakin banyak belajar. Dalam dunia kerja, saya menjadi pemimpin di sebuah lembaga cabang yang bergerak di bidang kesehatan. Saya belajar banyak sekali! Khususnya bagaimana menjadi pemimpin yang baik dalam usia yang "masih muda" untuk menjadi pemimpin sebuah lembaga. Ini pekerjaan yang tidak mudah, banyak faktor yang kadang membuat saya merasa gagal menjadi pemimpin yang baik. Terutama saat saya dalam periode bulanan dan saat patah hati. Duh ya! Saya sangat menyadari bahwa menjadi pemimpin harus belajar untuk memanage emosi dan harus memiliki kematangan emosi. Sebab sehebat apapun kemampuan saya mengembangkan dan mengelola kantor, bisa dilupakan dan terhapus begitu saja ketika saya "kumat" marah-marah hanya karena masalah sepele. Lagi PMS bu? Peer terbesar saya memang. Begitu tidak mudahnya untuk dicari jalan keluar, apalagi Manager saya mengatakan " makanya nikah!". Ini manager memang cari gara-gara :p
Begitu pula dengan pendidikan. Saya yang teramat meyukai pendidikan, membuat saya terus bersemangat untuk melanjutkan sekolah. Persiapan demi persiapan dilakukan. Meski usaha belum sebesar niat. Untuk bisa membuat saya semangat dalam meningkatkan bahasa inggris saya, maka saya membuthkan waktu yang tenang untuk belajar. Sayangnya, kadang penat membuat saya enggan menyentuh lembar latihan saya. Tetapi saya tidak terlalu memaksakan diri, saya memahami bahwa tubuh saya tidak bisa terlalu dipaksa. Rentan terhadap stress. Dalam hal ini saya belajar banyak juga, memaknai cara kerja tubuh saya, mencoba memahami bagaimana saya bisa berdamai dengan hari dan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Berharap dengan adanya perdamaian ini, maka jalan keluar dari setiap masalah lebih mudah untuk saya temui. 

Pemaknaan juga tengah saya lakukan terhadap salah satu topik terpanas sepanjang kehidupan manusia. Pertanyaan mengapa belum menikah dan kenapa masih betah melajang kadang membuat saya mau tidak mau menjadi sedih. Bukan, bukan karena belum menikah, tetapi karena pertanyaan itu selalu datang sementara saya belum tau jawabnnya kenapa saya belum juga menikah. Terlalu pilih-pilih? Rasanya tidak juga, yang penting ganteng seperti Nicholas Saputra atau Deva Mahendra :p

Sejak saya duduk dibangku kuliah, saya tidak pernah mau membuang waktu untuk memikirkan hal ini, romantisme dengan laki-laki meski tidak sedikit yang mendekati atau menawarkan diri. Situ oke? :p Lalu apa respon saya? Biasa aja. Saya belum memiliki hasrat untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Salah? Semoga tidak.

Kemudian pada tahun 2011, ada seorang laki-laki yang berniat menjadikan saya pendamping hidupnya. Namun gagal karena perbedaan suku membuat keluarga besarnya tidak memberikan restu. Bisa move on? bisa, meski sulit untuk seseorang seperti saya, yang kalau sudah dengan satu orang, dalemnyaaaaa gak ketulungan! Lalu kembali lagi seorang diri, romantisme menjadi sebuah trauma kecil yang selalu membayangi. Setelah itu ada beberapa laki-laki yang datang dan pergi, ada yang sempat ta'aruf hingga dua kali namun tidak berlanjut lagi-lagi karena perbedaan suku. Untuk hal ini memang saya sangat merasa didiskriminasi, entah apa yang salah dengan perempuan dari suku Lampung seperti saya ini. Haha :D 

Selanjutnya saya di tahun 2014 dipertemukan lagi dengan laki-laki yang ternyata juga bukan dia orangnya. Dia hanya datang untuk membuktikan bahwa manusia beragam rupa, beragam niat, beragam tipu daya. Dan yang paling terbaru 2016 adalah seorang laki-laki yang pernah datang dan pergi, namun tetap selalu ada, menjaga dari kejauhan- katanya. Kami saling mengenal dari tahun 2014, dan baru beberapa minggu yang lalu ia datang kemudian menyampaikan segalanya. Duh Gusti, boleh dong kali ini saya bahagia! hehe :D Sayangnya, jodoh memang bukan perkara yang sederhana. Kita sama sekali tidak memiliki wewenang untuk mengatur Tuhan, bahkan melalui do'a kita diajarkan untuk tidak menuntut, tidak memaksa. Tapi tetep boleh do'a kan? :D

Maka pada akhirnya, apapun perkaranya; karir, sekolah; jodoh; semua ada ditangan Tuhan. Saya yang hina, dina dan papa ini hanya bisa berusaha semaksimal yang saya bisa. Maksimal dalam kadar yang optimal. Usaha, perjuangan dan asa tidak akan pernah putus. Meski saya berulang kali ditolak bakal calon keluarga dan gagal menikah karena perbedaan suku, maka semoga suatu saat nanti ada keluarga yang begitu bahagia menerima keberadaan saya. Meski saya seorang praktisi kesehatan yang belum ahli, maka semoga suatu hari saya bisa sekolah lagi memperdalam ilmu-ilmu yang lain, belajar dengan banyak orang hebat di muka bumi. 

Hidup memang selalu membahagiakan ketika kita mampu berdamai dengan kenyataan. Meski menerima kenyataan yang pahit tidak semudah seperti menelan pil pahit, maka mari berusaha untuk tidak bertemu dengan kenyataan yang pahit!

Setiap kita, sudah Tuhan rencanakan hidupnya. Jika belum sesuai, mari kita belajar menerima. Meski menerima itu sulit, setidaknya kita sudah berusaha. Kita harus mempercayai satu hal, Tuhan tidak kemana-mana, Tuhan ada dan akan selalu ada. Tuhan melihat setiap usaha kita, dan hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha!


Sekian curhat dari saya, 


Jangan pernah lupa untuk bahagia,Bye!
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ▼  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ▼  September ( 10 )
      • Doa Ibu
      • Tentang Malam
      • Muhasabah Pagi
      • Hujan di Bulan September
      • Belajar Banyak
      • Me Time
      • Semoga
      • Aceh, Bukan Destinasi Biasa
      • Sepotong Senja dari Sorong, Papua Barat
      • Pemaknaan
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes